Posted by : Sarah Larasati Mantovani Wednesday 2 September 2015

"...faktor-faktor dan hambatan dalam pelaksanaan konvensi (CEDAW/Konvensi Penghapusan Segala Diskriminasi Terhadap Perempuan, red) adalah Komite yakin bahwa perilaku budaya yang menetapkan perempuan sebagai ibu dan istri merupakan hambatan besar dalam pemajuan perempuan" (Achie Sudiarti Luhulima, 2007:240).

Paragraf tersebut amat jelas tertuang dalam buku CEDAW: Mengembalikan Hak-hak perempuan yang disunting Achie Sudiarti Luhulima dan kawan-kawan, paragraf yang membenci peran perempuan sebagai ibu untuk anak-anaknya dan istri untuk suaminya, mereka dipersalahkan karena peran mereka menghambat pemajuan perempuan, oleh sebab itu mereka perlu terus diberdayakan.
Tentu, feminis juga akan lebih senang jika perempuan berkarir di luar, bersaing dengan para lelaki dan menjadi makhluk yang individualis, dimana mereka - para perempuan - bisa mengejar kesetaraan dengan laki-laki tanpa dihalangi dan dibebani dua peran sentral dalam keluarga ini: menjadi ibu dan istri.
Agenda feminis yang tidak menginginkan perempuan berperan sebagai ibu dan istri seakan-akan begitu sejalan dengan peta yang telah lama diajukan oleh Socrates dalam proposalnya, seperti yang dipaparkan Ratna Megawangi dalam bukunya, Membiarkan Berbeda.
"Setidaknya, ada dua hal mendasar dari proposal Socrates yang perlu dilakukan:
pertama, menghilangkan female modesty atau menghilangkan sifat-sifat feminin wanita (secara ekstrem, Socrates mengilustrasikan dengan cara perempuan berlari telanjang bersama-sama pria, dan menghilangkan maternal instinct atau sifat-sifat keibuan). Usaha-usaha ini lebih bertumpu para perubahan sifat pada level individu.
Kedua, melalui instrumen institusi sosial untuk mendukung usaha pertama. Instrumen sosial yang digunakan adalah perubahan lingkungan sosial yang kondusif untuk menghilangkan stereotip gender. Misalnya, dengan menciptakan undang-undang dimana negara harus menyediakan tempat pengasuhan anak komunal, membenarkan adanya desakralisasi atau kehancuran keluarga, melegalkan aborsi, atau bahkan menurut Socrates dengan infanticide (pembunuhan bayi). Semuanya ini ditujukan agar segala insting keibuan (feminine mode) dapat dihilangkan, sehingga kesetaraan gender dapat diciptakan".
Jika dua peran sentral ini dihilangkan dari perempuan maka dampaknya akan sangat serius, tidak lagi berbicara soal anak-anak yang bermasalah, rusaknya tatanan keluarga tapi juga kepunahan karena perempuan tidak mau ke jenjang pernikahan (seperti yang dialami oleh perempuan-perempuan Jepang sekarang ini), karena mereka menganggap pernikahan akan menjadikan mereka sebagai ibu dan istri, kemudian peran ibu dan istri akan menghambat mereka.
Lihatlah perempuan-perempuan Gaza, mereka merupakan para ibu dan istri, tidak sedikit pula di antara mereka yang berpendidikan Sarjana namun anak-anak mereka menjadi generasi cinta Masjid dan penghafal Al-Qur'an, pada akhirnya anak-anak mereka berperan dalam pembangunan, menjadi pejuang agama dan negara, menjadi dokter atau Insinyur yang begitu cinta terhadap Tuhannya.
Kembali pada insting keibuan, bagaimana pun, insting keibuan pada seorang perempuan tidak dapat dihilangkan atau dipertukarkan, ia adalah fitrah yang diberikan Tuhan, suatu tanda kebesaran Sang Rahman. Ia juga bukan pula hasil dari konstruk sosial budaya yang bisa dipertukarkan begitu saja seperti kata para feminis di luar sana.
Sama halnya dengan seorang anak yang hidup dan tumbuh dalam lingkungan pasangan Homo, tetap tidak akan bisa membohongi fitrahnya sendiri jika ia merindukan insting keibuan yang tidak ia dapatkan pada Ibu jadi-jadian, begitu pula sebaliknya jika ada seorang anak yang tumbuh dan hidup dalam pasangan Lesbian, ia tidak akan bisa membohongi fitrahnya bahwa sebenarnya ia merindukan sosok Ayah sebenarnya, bukan sosok Ayah jadi-jadian, seperti yang pernah dikisahkan Heather Barwick dalam tulisannya Dear Gay Community: Your Kids Are Hurting.
Feminis tidak akan pernah bisa menikmati bagaimana nikmatnya mendapatkan pelukan hangat dari malaikat kecil yang telah Dia titipkan, bagaimana tentramnya hati saat mengetahui ada sosok yang melindungi yaitu suami. Jelas semua itu tidak akan dapat mereka nikmati karena menurut mereka itu merupakan penindasan terhadap perempuan dan perbudakan, karena feminis menganggap menjadi ibu dan istri menghambat pemajuan perempuan. Padahal tidak sedikit perempuan yang begitu bahagia saat ia menjalani dua peran itu dalam keluarganya, seperti yang pernah saya baca dalam buku the Story Cake for Amazing Moms, kisah tentang para perempuan hebat yang merelakan karirnya demi merawat dan mendidik malaikat kecilnya.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -