- Back to Home »
- Amerika Serikat , anggota legislatif perempuan , Inter-Parliamentary Union , Jepang , Parlemen , Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 , Women Research Institute »
- Parlemen Ramah Perempuan*
Posted by : Sarah Larasati Mantovani
Thursday, 2 October 2014
![]() |
Kuantitas perempuan yang masuk ke DPR tidak menentukan kualitas mereka di DPR. foto: forumkeadilan.com |
Persoalan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu hingga kini masih menuai
polemik. Pada pasal 8 poin e menyebutkan, setiap Partai Politik yang ikut dalam
Pemilu harus menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan
partai politik tingkat pusat. Ini artinya, partai politik yang ikut Pemilu
harus memenuhi kuota 30 persen calon anggota legislatif perempuan untuk DPR.
Hasil penelitian
Women Research Institute (WRI) tahun 2010 menunjukkan, prosentase
perempuan legislatif di DPR-RI periode 2009-2014 mengalami peningkatan, yaitu
dari jumlah Anggota DPR-RI pada periode sebelumnya yang hanya sebesar 11,8
persen menjadi 18 persen atau 101 orang dari 560 Anggota DPR-RI (Dina Martiany,
dpr.go.id).
Meski prosentase
anggota legislatif (aleg) perempuan alami peningkatan, namun angka tersebut
tidak membuat wajah parlemen Indonesia menjadi ramah perempuan, bahkan
merugikan perempuan, seperti mengantarkan perempuan ke dalam bui. Contohnya kasus
Angelina Sondakh, Wa Ode dan Chairun Nisa.
Kualitas Bukan
Kuantitas
Masih adanya anggota
legislatif perempuan bermasalah yang ditempatkan di parlemen memperlihatkan
bahwa selama ini para pembuat kebijakan, termasuk KPU dan partai hanya mengejar
kuantitas bukan kualitas. Sehingga yang terjadi adalah partai bertindak asal
ambil agar tidak dikenai sanksi pembatalan keterwakilan partai oleh KPU.
Lebih
mengherankan, jika kewajiban pemenuhan kuota dihubungkan dengan anggapan,
semakin banyak perempuan yang duduk di ranah parlemen, maka negara tersebut
akan semakin maju dan dapat mengurangi angka korupsi atau pun kemiskinan.
![]() |
Amerika sampai saat ini tidak meratifikasi CEDAW (Kamilia Helmy - Pakar Keluarga asal Mesir) |
Tercatat dalam
laporan Transparency International Indonesia yang dirilis pada Desember
2013 lalu, Indonesia berada di peringkat ke 114 negara terkorup di dunia dengan
skor 32, di bawah Singapura, Hong Kong, China, Brunei dan Malaysia. Ini artinya,
banyaknya anggota legislatif perempuan yang duduk di parlemen bukanlah penentu
atau jaminan kasus korupsi akan berkurang, karena yang menjadi penentu adalah
moral anggota legislatif tersebut, baik laki-laki maupun perempuan.
Berbeda dengan
Jepang, Inter-Parliamentary Union memaparkan, prosentase anggota legislatif
perempuan Jepang pada Desember 2012 lalu hanya 8,1 persen. Meski prosentase
anggota parlemen perempuannya lebih sedikit dari prosentase anggota parlemen
perempuan Indonesia, prosentase tersebut tidak membuat perekonomian Indonesia
jadi lebih maju dari Jepang.
Bahkan Amerika
Serikat, yang disebut sebagai negara pemimpin dan pelopor dalam memperjuangkan
hak-hak perempuan, prosentase parlemen perempuannya tidak lebih tinggi dari
Indonesia, yaitu hanya 17,8 persen pada pemilu November 2012 lalu.
Nampaknya,
parlemen Indonesia bisa mencontoh kebijakan parlemen Jepang yang tidak
mengutamakan kuantitas, walau angka prosentasenya menurut anggota legislatif
perempuan Jepang sendiri memalukan karena lebih rendah dari negara-negara lain,
namun hal tersebut tidak mengurangi kualitas manusia yang dihasilkan oleh
Jepang.
Terbukti dari
parlemennya, lahirlah kebijakan-kebijakan yang ramah perempuan, salah satunya seperti
memberikan fasilitas dan subsidi yang cukup besar bagi perempuan yang hamil dan
melahirkan di Jepang, fasilitas tersebut meliputi periksa kehamilan, buku
kesehatan selama masa kehamilan, susu untuk ibu hamil dan subsidi uang kala
melahirkan.
Parlemen Ramah
Perempuan
Syarat-syarat
yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, BAB VII, Bagian Kesatu
tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
dalam pasal 51, perlu ditambahkan syarat khusus untuk calon anggota legislatif
perempuan yang telah menikah.
Misalnya, tidak
diperkenankan bagi calon anggota legislatif perempuan yang masih mempunyai
bayi, balita atau anak yang masih memerlukan pengasuhan ibunya untuk
mencalonkan diri, atau diperbolehkan menjadi calon anggota legislatif dengan
syarat dia sudah mempunyai anak dewasa agar bisa mengasuh adiknya. Hal ini
untuk mencegah kurangnya pengasuhan anak oleh ibunya, karena syarat untuk
menjadi anggota legislatif harus bekerja secara penuh waktu dan otomatis, waktu
bersama anak akan jauh berkurang.
Kemudian untuk
meningkatkan calon anggota legislatif yang berkualitas di parlemen, mekanisme
perekrutan calon anggota legislatif hendaknya dirubah seperti perekrutan penerimaan
Calon Pegawai Negeri Sipil, seperti adanya test pengetahuan politik, wawasan kebangsaan,
wawancara dan psikotest, bisa juga dengan membuat makalah yang kesemuanya
dinilai dengan skoring, kemudian hasilnya diumumkan di website KPU sebagai
panduan untuk pemilih. Sehingga nantinya hanya calon anggota legislatif yang
berkompeten dan berkualitas lah yang akan dipilih.
Berbicara
parlemen yang ramah perempuan, bukan hanya soal kebijakannya yang dihasilkan
melainkan bagaimana menghasilkan calon anggota legislatif perempuan yang
berkualitas sehingga saat diterjunkan ke ranah legislatif nanti, ia benar-benar
matang dari sisi moral, mental dan ilmu. Ia juga tahu apa yang harus dan tidak
untuk diperjuangkan, bukan hanya sekedar memenuhi angka kuota.
*tulisan ini pernah dimuat di bisnisindonesia.com