Posted by : Sarah Larasati Mantovani Monday 19 March 2012


Foto : Zahir Nawwab
Penting untuk mengetahui makna dari dua bagian ilmu; ilmu pengetahuan dan ilmu pengenalan, keduanya bila tidak dipelajari secara mendalam memang seperti sama. Walau pun ada keterkaitan antara keduanya, namun keduanya punya makna yang berbeda, yang akan menentukan sejauh mana kita mengenal diri kita dan juga Tuhan kita Yang Maha Agung.


Untuk mengetahui perbedaan diantara keduanya, akan lebih mudah memahami jika dianalogikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu dari tiap-tiap kita memiliki teman karib atau teman dekat atau lebih akrab kita sebut sahabat. Ciri dari seorang sahabat ialah seseorang yang sudah mengetahui betul bagaimana diri kita, yang memuat banyak informasi tentang kehidupan pribadi kita dan berhubungan sangat dekat dengan kita. Bagaimana prosesnya sehingga seseorang tersebut bisa menjadi teman karib atau teman dekat kita? Pasti ia bermula dari proses pengenalan dulu,  dan jauh lagi sebelum perkenalan itu, kita mengetahui dia dulu, mungkin melalui teman kita yang lain, atau melalui ibu kita, atau mungkin karena ia tetangga kita yang hampir setiap hari kita lihat, sehingga menimbulkan niat untuk mengenalnya lebih jauh.

Mengetahuinya bukan berarti mengenalnya, mengetahuinya hanya akan membuat kita mendapatkan informasi-informasi dari apa yang mampu kita lihat atau dengar langsung maupun tidak langsung  seputar dirinya. Misalnya, kita tahu ia sekolah dimana dari seragam yang digunakan saat ingin berangkat ke sekolah, atau mengetahui alamat lengkapnya karena letak rumahnya yang dekat dengan rumah kita. Bila sejauh penglihatan kita ia sering menggunakan baju warna merah, bukan berarti juga dia menyukai warna tersebut melainkah itu hanya duga-dugaan kita saja, sering kali kita menyimpulkan sesuatu dari apa yang kita lihat saja. Padahal kita akan tahu kebenarannya jika memang dia langsung yang menyatakannya.

foto : iptekita.com
Ditahap selanjutnya, setelah mengetahui beberapa informasi tentang dirinya, ada keinginan kita untuk berkenalan secara langsung. Mungkin kita mulai berani mengajaknya berkomunikasi seputar hal-hal yang sering kita lihat darinya, itu akan mempermudah kita untuk berkenalan secara langsung. Dan pada waktu berkenalan tentu kita berusaha menyesuaikan diri dengannya, menjaga sopan santun dan hati-hati dalam berbicara. Disadari atau tidak, setiap-tiap dari kita memiliki aturan yang harus dipenuhi untuk orang lain bisa memasuki kehidupan pribadi kita lebih dalam. Walau pun aturan itu tidak dalam bentuk tertulis, namun aturan itu lebih kepada cara orang lain mengupas informasi dari kita secara langsung. Dan sudah tentu yang pertama kali kita lihat adalah bagaimana adabnya dalam berbicara dan berperilaku. Ini akan menentukan sejauh mana kita membuka diri kita.

Bagaimana membuat orang lain nyaman dengan kita, sehingga ia mau membuka kisah-kisah hidupnya lebih dalam ditentukan dari bagaimana kita memperlakukannya. Di sinilah adab sangat berperan penting, tidak mungkin seseorang ingin memberitahukan  rahasia-rahasia hidupnya kepada kita jikalau kita tidak menunjukkan adab yang baik, misalnya kita sering menceritakan kejelekan-kejelekkan orang lain, atau kita tidak mau menyimak dan mendengarkan dengan penuh perhatian saat teman kita bercerita. Ini artinya orang yang kita percayai mengetahui urusan-urursan pribadi kita secara lebih mendalam, ialah orang yang kita anggap paling pantas karena telah berhasil memenuhi uturan-aturan yang telah kita buat tadi, orang tersebut berarti memiliki adab yang baik.

Selagi pun banyak keterangan-keterangan yang diberikan sahabat kita pada kita mengenai dirinya, kita tidak akan benar-benar mengenalnya secara sempurna. Itu karena dia pun tidak benar-benar mengenali dirinya sendiri.

“Bahwasanya sesungguhnya tiap-tiap diri seseorang itu umpama sebuah pulau yang terpencil sebatang kara di tengah lautan yang mahadalam, yang senantiasa diselubungi kegeliatan yang mahadahsyat, dan kesunyian yang dialami oleh diri itu sedemikian mutlaknya justeru sehingga mengenai diri itu sendiripun tiada juga dapat dia mengenal dirinya dengan sepenuh lengkapnya. Maka ilmu yang dinisbatkan sebagai ‘pengenalan’ itu sebenarnya adalah ilmu yang diberikan oleh yang dikenali kepada yang mengenali, dan nilai dan banyak atau sedikitnya ilmu itu tergantung kepada nilaipemberiannya dan penerimaannya oleh pihak yang berkenaan.” (Prof. Al-Attas dalam Risalah untuk Kaum Muslimin hal. 53)

foto : dkm-tm.blogspot.com
Dari contoh analogi di atas, kita mengetahui bahwa ilmu yang kita dapatkan melalui penelitian, pemerhatian atau penyelidikan terhadap sesuatu benda/hal yang berkaitan dengan orang yang ingin kita kenali merupakan sebatas pengetahuan. karena ia merupakan benda dan bukan manusia, maka ia tidak memiliki alat untuk bisa berkomunikasi secara jelas kepada manusia, untuk menjelaskan hakikat dirinya (misal: untuk mengetahui warna kesukaan teman kita ialah merah, tidak cukup hanya dengan melihatnya sering memakai baju warna merah saja). Dan keterbatasan inilah yang membuat kita tidak bisa benar-benar mengenalinya selain berinteraksi secara langsung dengan orang yang ingin kita kenali.

Begitu juga bahkan lebih daripada itu cara kita mengenali Allah Subhana wa Ta’ala (ma’rifatullah), tidak cukup hanya dengan mempelajari ilmu pengetahuan saja, walau pun ia meliputi tanda-tanda dari keberadaan dan ciptaan-Nya yang berupa alam semesta beserta isinya, dan patut juga kita mengenalinya, tapi itu tidak bisa menghantarkan kita pada pengenalan yang sesungguhnya. Oleh karena ia tidak lengkap, terbatas dan hanya memberi kepuasan sebentar saja karena keterbatasan akal fikiran kita dalam memahaminya, bukan kebenaran yang sesungguhnya akan kita dapatkan melainkan duga-dugaan saja (zhann) melalui apa yang kita lihat, dengar dan rasakan, seperti apa yang saat ini kebudayaan Barat yakini sebagai ilmu yaitu dugaan, rekaan dan pendapat-pendapatnya terhadap apa yang mereka teliti, kaji dan selidiki melalui alam ciptaan-Nya ini.  Padahal sudah sangat terang Allah jelaskan dalam firman-Nya:

“Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. YUNUS: 36)

Juga dalam Surah An-Najm ayat 28:

“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.

Pengenalan harus dimulakan dengan yakin terlebih dahulu akan kebenarannya, sebab ia akan merujuk kepada hikmah. Maka Ilmu yang sebenarnya adalah sesuatu yang meyakinkan dan memahamkan dengan nyata, bukan dugaan-dugaan yang kita reka-reka kebenarannya.

Mengenal Allah Subhana wa Ta’ala harus dilakukan dengan cara-cara yang sudah ditetapkan-Nya, mematuhi aturan-aturanNya, menjalankan Syariat-syariat-Nya dan melaksanakan ibadah kepada-Nya dengan berserah diri total kepada-Nya. Oleh karena Ilmu Pengenalan ini merupakan Ilmu yang Utama, ia tidak akan terlepas bahkan sangat berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti seseorang. Sebab itu adab sangatlah mempengaruhi dalam menerima Ilmu-Ilmu-Nya.

Foto : kompasiana.com
“Oleh karena pertaliannya yang erat dengan akhlak dan budi pekerti maka ilmu yang difahamkan sebagai pengenalan ini haruslah memimpin diri insan dalam kehidupannya bersambit dengan ilmu-ilmu lain yang merupakan ilmu pengetahuan.” (Risalah untuk Kaum Muslimin hal. 54)

Dan sesungguhnya kita tidak akan benar-benar mengenal-Nya secara sempurna, melainkan kepercayaan serta iman yang akan melengkapi dan menyempurnakannya, dan ilham serta kashaf -lah yang akan membebaskan kita dari keterbatasan..

“Tujuan ilmu pengetahuan bukanlah sesungguhnya bagi mencari hakikat, akan tetapi bagi mencari kegunaan untuk kehidupan, bagi memahami ma’na sesuatu, dan dengan demikian maka dia itu alat jua, dan nilaian kegunaannya dan ma’nanya haruslah terletak pada ilmu pengenalan, ilmu yang memandu diri ke arah tujuan akhirnya, yaitu ke arah kesejahteraannya.” (Risalah untuk Kaum Muslimin hal. 56)

wallahu 'alam

Banyak saya ambil dari karya Prof. Dr. Syed Muhammad Al-Attas. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin.Kuala Lumpur: Institut Antarabangsa Pemikiran dan Tamadun Islam (ISTAC).


By : Sakinah Fithriyah 

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -