Posted by : Sarah Larasati Mantovani Friday 17 June 2011

Sarah Larasati Mantovani
Mahasiswi Fakultas Hukum Jurusan Hukum Tata Negara, Universitas Pamulang-Banten



“Wallahi, Billahi, kepada Daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syari-at Islam. Dan Wallahi, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syari’at Islam di dalam daerahnya”.
(Janji Soekarno pada Tgk. Daud Beureueh)


Itulah janji yang pernah di ucapkan oleh Presiden Soekarno pada Tgk. Daud Beureueh dan rakyat Aceh saat keadaan Indonesia sedang terjepit oleh agresi militer Belanda. Janji yang sungguh indah, hingga membuat Tgk Daud Beureueh luluh hatinya dan rakyat Aceh tertipu untuk pertama kalinya. Karena hingga Presiden Soekarno turun dari jabatannya pada tahun 1966, janji tersebut tak juga dipenuhinya dan rakyat Aceh tetap tak bisa menjalankan syari’at Islam secara maksimal, meski hal itu sudah di jamin dengan keputusan Perdana Menteri RI No. 1/missi/1959 tentang status Daerah Istimewa Aceh, yang di dalamnya mencakup agama sebagai bidang keistimewaan daerah Aceh (Mutiara Fahmi, Gerakan Kemerdekaan di Aceh dalam pertimbangan Hukum Islam,121&81). Padahal kita semua tahu, janji tersebut merupakan amanah dari Piagam Jakarta butir pertama: “Ke-Tuhanan dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang dibuatnya bersama panitia BPUPK tanggal 22 Juni 1945. Dan sebagaimana amanah, tentunya hal tersebut harus ia laksanakan, bukan hanya sekedar lips service belaka.

Setelah tampuk kepemimpinan Soekarno berakhir, Presiden Soeharto menggantikan. Biasanya, yang terjadi adalah pemimpin pengganti menjalankan amanah yang belum sempat di laksanakan oleh pemimpin sebelumnya, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.

Pada era kepemimpinan Soeharto, lagi-lagi Aceh tidak dapat merasakan statusnya sebagai Daerah Istimewa, status Daerah Istimewa yang seharusnya di rasakan oleh Aceh hanya sebagai tulisan di atas kertas belaka. Sebagaimana hal ini tercermin pada politik sentralisasi yang di implementasikan ke dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1974 dan diterapkan oleh Soeharto pada Aceh dan seluruh daerah di Indonesia yang akhirnya berujung pada asas Tunggal Pancasila. (Ibid, hlm. 80&81)
Begitu pula saat rakyat Aceh berusaha melawan ketidakadilan pemerintah pusat dengan mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 yang pertama kali di prakarsai oleh Hasan Tiro, guna meneruskan perjuangan untuk menegakkan Syari’at Islam di tanah rencong yang dilakukan oleh Tgk. Daud Beureueh saat mendirikan Republik Islam Aceh pada tanggal 15 Agustus 1961. (Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka: Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam, hlm. 141-143).

Gerakan melawan ketidakadilan ini pada akhirnya membuat pemerintah pusat memberlakukan status DOM (Daerah Operasi Militer) pada tahun 1989, dimana akibat dari pemberlakuan status DOM ini banyak warga sipil yang tak bersalah di jadikan korban dan di tangkap serta di perlakukan secara tidak manusiawi tanpa melalui proses peradilan yang jelas.

Membaca dari perlakuan pemerintah pusat era Soekarno terhadap Aceh tersebut, berarti pemerintah telah mengkhianati amanah dalam Piagam Jakarta butir kedua: “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.

Dan kini, setelah jaman reformasi, saat pemerintahan SBY sudah berjalan lebih dari 6 tahun dan konflik Aceh sudah lebih dari 10 tahun berlalu, masih ada saja tapol Aceh yang hingga sekarang masih di tahan oleh pemerintah karena di tuduh terlibat sebagai panglima GAM untuk wilayah Jabodetabek, mereka adalah Teuku Ismuhadi, Ibrahim dan Ismuhadi bin Ilyas, mereka sudah di tahan oleh pemerintah di rutan Cipinang sejak 10 tahun yang lalu. Padahal, dalam nota kesepahaman (MoU) Helsinki yang di buat pada tanggal 15 Agustus 2008 di Kote Helsinki ini, pemerintah sudah berjanji untuk membebaskan seluruh tahanan politik Aceh yang di tahan. Dalam MoU Helsinki: Poin 3.1.2 disebutkan bahwa: Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Presiden SBY juga penah mengeluarkan Keppres No. 22/2005 tentang pemberian amnesti umum dan abolisi kepada setiap orang yang terlibat GAM atau tepat lima belas hari setelah penandatanganan MoU Helsinki tanggal 15 Agustus 2005. Selain itu, Surat Usulan Pemberian Amnesti bagi sisa Tapol/Napol Aceh berdasarkan KEPPRES 22 tahun 2005, dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Nomor: 330/3.368 tanggal 21 Juli 2008. (Teuku Zulkhairi, Pemilukada, Momentum Pembebasan Napol Aceh, Harian Aceh, 23 Mei 2011).

Tak hanya itu, rakyat Aceh yang menjadi korban tsunami pun masih ada yang tinggal di barak-barak pengungsian dan belum mendapatkan rumah pengganti dari pemerintah hingga berita ini di turunkan. (TvOne, 26 Desember 2010). Padahal, pemerintah juga sudah berjanji untuk mengganti kerugian yang di alami oleh korban tsunami Aceh.

Menurut Buya HAMKA, dalam ajaran Islam, mengucapkan janji itu sama kuatnya dengan mengucapkan sumpah. Bahkan, jika dipikirkan lebih mendalam, berjanji lebih kuat daripada bersumpah. (Rusydi Hamka, Biografi Prof. Dr. HAMKA, hlm 291)

Sebagaimana firman Allah:

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji.” (QS. Al-Maidah:1)

“…dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya”. (QS. Al-Israa’:34)


Maka Dengan kata lain, pemerintah tak hanya mengkhianati MoU Helsinki, Piagam Jakarta butir kelima: “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, tetapi juga mengkhianati janji untuk Rakyat Aceh.

{ 1 comments... read them below or add one }

  1. subhanallah artikel yang kayak gini yang layak di share ke umat. salam. musyafucino.wordpress.com

    ReplyDelete

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -