Posted by : Sarah Larasati Mantovani Thursday 2 June 2011

Siapa yang tidak kenal dengan Umi Kaltsum? Belakangan, Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar ini, namanya sering disebut-sebut oleh media Era Muslim karena keberaniannya mengkritisi sang Professor sekaligus Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta sekelas Musdah Mulia, saat seminar tentang Perempuan pada tanggal 30 Mei lalu di Makassar.



Dan siapa juga yang tidak kenal dengan Musdah Mulia? Perempuan berusia 53 tahun dan bergelar professor ini, namanya mulai naik daun saat menyusun Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam bersama Tim Pangarusutamaan Gender-Departemen Agama, pada tahun 2004 lalu.(Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia, hlm. 24, www.insistet.com )

Bagaimana tidak? Isi CLD-KHI yang dibuatnya sudah sangat menyimpang, contohnya pada pasal 54, Prof. Musdah dan kawan-kawan mengizinkan dan mengesahkan perkawinan beda agama antara muslim atau muslimah dengan orang non muslim. Kemudian yang lebih menyesatkan lagi, pada pasal 88 ayat 7 (a) dan pasal 8 ayat 3 bagian kewarisan, menyatakan bahwa, masa iddah bukan hanya dimiliki oleh wanita, tetapi juga untuk laki-laki. Masa iddah bagi laki-laki adalah seratus tiga puluh hari (pasal 88 ayat 7 (a) ), dan bagian waris anak laki-laki dan wanita adalah sama (pasal 8 ayat 3).

Sosok kontroversial memang seperti tak pernah lepas dari feminis yang rajin menyuarakan kesetaraan gender dan mendukung perkawinan sesama jenis ini. Contohnya, bisa dilihat dalam Jurnal Perempuan (edisi Maret, 2008), pada saat Prof. Musdah menuntut untuk mengesahkan perkawinan sesama jenis:

“Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang dan kebahagiaan”.(Ibid, hlm. 27)

Selain itu dalam Jurnal yang sama, Prof. Musdah juga mengatakan:

”Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini”. (Adian Husaini, Demi Kebebasan: Membela Kebathilan!, 13 Juni 2008, www.insistnet.com )

Bahkan, beliau pada tahun yang sama sudah menyatakan secara terbuka dukungannya terhadap legalisasi perkawinan sesama jenis. Seperti dalam salah satu makalahnya yang berjudul “Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta”, ia menulis:

“Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang ‘given’ atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara, perilaku seksual bersifat konstruksi manusia… jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima.” (Adian Husaini, op. Cit., hlm. 27)

Oleh karena itu, tak heran bila perjuangannya yang dinilai amat gigih ini, Prof. Musdah mendapat penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di Washington, pada hari Perempuan Internasional tanggal 08 Maret 2007 lalu. Ia di anggap sebagai wanita Asia “pemberani” yang memperjuangkan hak perempuan dalam hal perkawinan, kesempatan kerja, melarang poligami, mengkritisi Peraturan Daerah tentang Syariat Islam, mendukung perkawinan beda agama, anti-diskriminasi dan sebagainya. Bahkan seperti yang dikutip dari Majalah Sabili, saat itu Prof. Musdah mengaku siap dikatakan sebagai ‘antek Amerika’. (Majalah Sabili, 04/02/2010)

Nah, jelas saja jika mahasiswi angkatan 2006 seperti Umi Kaltsum kontan saja langsung meneriakkan: “Kawan-kawan sekalian, kita harus mempertanyakan sosok Prof. Musdah yang kontroversial ini. Ia adalah orang Amerika. Ia adalah pendukung Amerika yang liberal", saat acara seminar masih berlangsung. ( Era Muslim.com, Selasa 31 Mei 2011)

Apa yang di lakukan oleh Umi Kaltsum, semata-mata bukan karena sekedar luapan emosi belaka, melainkan sudah menjadi hal lumrah yang terjadi pada diri setiap mahasiswa untuk bersikap kritis, apabila ia melihat atau merasakan sesuatu yang tidak beres. Lagipula, seorang Professor sekaligus Doktor seharusnya tak perlu bersikap seperti itu. Bukankah, kaum Pluralis-Liberalis sendiri yang seringkali menekankan perlunya setiap manusia untuk bersikap kritis dan berpikir liberal? Lalu, kenapa saat di kritik harus di ekspresikan dengan wajah marah dan nada mengancam?.

Kemudian, jika memang benar Prof. Musdah jadi melakukan penuntutan terhadap Umi Kaltsum dengan pasal pelecehan, Umi Kaltsum bisa menggugat sang Professor kembali. Tentunya, kali ini bukan dengan teriakan, melainkan dengan pasal 156a KUHP karena telah melakukan penodaan agama terhadap Islam. Wallahu’alam.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -