Posted by : Sarah Larasati Mantovani Tuesday 31 May 2011

“Sekiranya mayoritas rakyat Indonesia bukan pemeluk Islam, maka dapatlah dipastikan bahwa Pancasila tidak akan mengenal sila Ketuhanan, apalagi sila Ketuhanan Yang Maha Esa”.

(Ahmad Syafi'i Ma’arif_1985:109-110)

“Saya hanya ingin mengusulkan, kenapa MPR tidak memberikan tafsiran yang lebih rinci dan spesifik mengenai pasal-pasal yang rentan multitafsir? Contohnya adalah pasal 28E ayat 1 dan 2 dan pasal 28I ayat 1 tentang Hak Asasi Manusia, karena seringkali pasal-pasal tersebut dijadikan sebagai justifikasi oleh orang/kelompok tertentu untuk melegalkan aliran-aliran sesat yang ada di Indonesia”

Pertanyaan itulah yang saya ajukan pada dua orang perwakilan dari MPR—Drs. Hajriyanto-Wakil Ketua MPR dan Agun Gunanjar M.Ag-anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, saat mengikuti seminar tentang Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, di Aula Madya UIN SyaHid Jakarta pada tanggal 08 Maret lalu. Seminar itu hasil kerjasama antara Fakultas Dirasat Islamiyah dengan MPR-RI.

Pertanyaan saya pun akhirnya dijawab oleh Pak Agun setelah sebelumnya Pak Hajriyanto menyatakan ketidakmampuannya untuk menjawab pertanyaan saya. Jawaban beliau sederhana saja, “segala hal yang menyangkut hak dan kebebasan kita, tidak boleh menganggu hak dan kebebasan orang lain, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 28J ayat 1. Pasal 28J ayat 1 itu pula yang terinspirasi dari Pancasila sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.

Kemudian, ada yang menarik saat saya menyaksikan acara Suara Anda: Suara Konstitusi tentang Pancasila di Metro Tv, pada tanggal 27 April lalu, dengan pembicara Mahfud MD (Ketua Hakim MK), Yudi Latief (Penulis buku Negara Paripurna) dan Lukman Hakim (Wakil Ketua MPR). Saat membicarakan tentang Pancasila sila pertama, Metro Tv kembali menayangkan tentang Ahmadiyah dan Operasi Sajadah yang dilakukan oleh TNI terhadap Ahmadiyah, di tayangan itu pula Metro mengomentari bahwa Ahmadiyah telah dipenggal Hak Konstitusinya oleh para kepala daerah yang mengeluarkan Perda pelarangan terhadap aktivitas Jemaat Ahmadiyah, padahal di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas bahwa setiap orang mempunyai hak untuk bebas beragama dan berkeyakinan.

Seringkali saya lihat, memang ada pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin memelintirkan atau merubah penafsiran Pancasila dan UUD 1945, terutama pancasila sila pertama dan pasal-pasal yang berkaitan tentang Kebebasan Beragama dalam UUD 1945, yang salah satunya sudah saya kemukakan sebelumnya.

Tentunya sebagai mahasiswa Hukum, hal ini membuat saya gemas, karena ternyata, apa yang mereka tafsirkan jauh dari apa yang pernah ditafsirkan oleh the Founding Fathers bangsa ini sebelumnya. Begitu pula saat para ahli hukum berbicara bahwa SKB 3 Menteri “cacat hukum”, karena tidak ada pengaturannya dalam undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan. Sepertinya, mereka sudah lupa, bahwa sebelum adanya SKB 3 Menteri itu juga sudah banyak Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung (yang juga setingkat dengan menteri), di antaranya SK Jaksa Agung RI No. KEP-058/J.A/3/1984 tentang Larangan ajaran serta barang-barang cetakan yang memuat ajaran kepercayaan Childern of God, SK Jaksa Agung No. KEP-129/JA/12/1976 tentang Pelarangan Terhadap Ajaran/Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab/Saksi-saksi Yehova, SK Jaksa Agung No. KEP-006/B.2/7/1976 tentang Pelarangan Terhadap Aliran Kepercayaan “Manunggal” yang di dalam ajarannya tidak mengakui adanya Tuhan, dan masih banyak lagi. Nah, apakah Surat-surat Keputusan tersebut juga tidak cacat hukum namanya? Dan Kenapa mereka hanya memprotes SKB 3 Menteri dicabut sementara SK yang lain tidak dicabut?.

Lalu, sebagaimana SKB 3 Menteri, Surat-surat Keputusan tersebut memakai dasar hukum Undang-undang No. 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Penodaan Agama yang tentunya bermuara dari Pancasila sila pertama.

Selain itu, Lukman Hakim yang menjadi narasumber pada acara Suara Anda Metro Tv mengatakan bahwa:

“Pembukaan UUD tidak bisa dipisahkan dengan UUD 1945, dimana di dalamnya ada Pancasila”.

Jadi, antara pembukaan UUD-dimana di dalamnya juga terdapat butir-butir Piagam Jakarta, dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, begitu pula dengan penafsirannya.


Saat Pancasila dijadikan justifikasi…


Dalam penjelasan Dekrit 5 Juli 1959, soekarno juga dengan jelas menyatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 menolak segala propaganda anti-agama dan anti-Tuhan.[1] Tetapi dalam prakteknya, Soekarno seringkali berbeda dengan Pancasila, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Akbar Tanjung yang mengkritik pemahaman Bung Karno terhadap Pancasila:

“Sejak tahun 1927, Bung Karno telah bersikukuh menjadikan Pancasila sebagai alat pemersatu bagi seluruh kekuatan politik di negeri ini. Padahal, segala bentuk ajakan komunis yang mengakar dalam kehidupan masyarakatnya, pemahaman, metode dan modus operandinya, tidak sejalan dengan umat beragama yang sangat menerima dan mensyukuri sila pertama Pancasila, mengesakan Tuhan. Menurut saya, disitulah letak kekeliruan Bung Karno. Pancasila itu bukan hanya sekedar alat pemersatu, melainkan landasan dan falsafah negara, atas bimbingan Tuhan. Menjadi lebih keliru lagi, karena Bung Karno tetap bersitegang untuk tidak membubarkan PKI padahal telah dua kali berkhianat”.[2]

Begitu pula pada saat jaman Orde Baru, Demokrasi Terpimpin yang dianggap bertentangan dengan Pancasila oleh Presiden Soeharto, diganti namanya menjadi “Demokrasi Pancasila”. Pada waktu itu, panggung politik dan ideologi di masa Orde Baru kemudian didominasi semangat dan program sekulerisasi dan deislamisasi di bidang politik. Pancasila pada akhirnya, ditafsirkan secara sekular dan dimonopoli maknanya oleh penguasa untuk kemudian digunakan sebagai alat politik menumpas aspirasi Islam.[3]

Dominasi kaum sekular dalam politik Orde Baru akhirnya berdampak kepada upaya sekulerisasi Pancasila. Pancasila ditempatkan sebagai posisi “netral agama”, alias sekular. Kasus yang menonjol terjadi saat pemerintah mengajukan satu RUU Perkawinan pada tanggal 30 Agustus 1973. Pasal 10 ayat (2) RUU Perkawinan itu menyebutkan, “Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.” Umat Islam saat itu, sangat keberatan dengan keberadaan pasal tersebut. Cendekiawan Muslim, Prof. HM. Rasjidi sampai menulis sebuah artikel di Harian ABADI, edisi 20 Agustus 1973, dengan judul: “Kristenisasi dalam Selubung, Ummat Islam tidak akan dapat Menerima RUU Perkawinan”. Kemudian Rasjidi menulis,

“Kita selalu mendengarkan argumentasi orang-orang sekulerisme bahwa agama menyempitkan kehidupan manusia. Perkawinan adalah soal pribadi, agama adalah vertikal, mengapa agama dimasukkan dalam soal perkawinan. Orang-orang seperti tersebut adalah orang-orang yang dangkal pengetahuannya”. Lalu, Rasjidi dengan tegas menolak RUU Perkawinan tersebut dan menyatakan, bahwa, “Ummat Islam, Partai-partai politik Islam; ulama-ulama dan segenap yang percaya kepada Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul-Nya, tidak akan dapat menerima RUU Perkawinan yang dimajukan oleh pemerintah kepada DPR sekarang ini.”

Tetapi lain halnya dengan harian Harian KOMPAS dan Sinar Harapan yang pada tanggal 17 Desember 1973 menolak dimasukkannya agama dalam RUU Perkawinan karena dikhawatirkan akan membuka peluang bagi usaha-usaha untuk memperlakukan hukum-hukum agama di bidang-bidang kehidupan lainnya. Harian Sinar Harapan pun sama dan memberikan sebuah pertanyaan:

“Sebuah ketetapan melalui undang-undang (Pasal 29) bahwa negara tidak hanya menjamin kemerdekaan, tetapi juga mewajibkan para warga negara untuk melaksanakan hukum agama, menumbulkan pertanyaan yang sangat serius, apakah ketetapan seperti itu masih dapat dianggap sesuai dengan isi dan jiwa UUD 1945?”.

Begitu pula dengan DGI (Dewan Gereja-Gereja Indonesia/Protestan) dan MAWI (Majelis Wali-wali Gereja Indonesia/Katolik) yang memuat pernyataan di harian Sinar Harapan tanggal 19 dan 20 Desember 1973 bahwa mereka lebih menghendaki hukum perkawinan sekular, yang tidak merujuk kepada agama tertentu. Mereka menginginkan juga dibukanya peluang pengesahan perkawinan di luar agama. Nah, Jika aspirasi kaum Kristen ini dituruti, bisa dibayangkan, di Indonesia akan ada banyak jenis perkawinan, baik menurut sekte-sekte tertentu, perkawinan lintas-agama, atau bahkan perkawinan sesama jenis.[4]

Meski begitu, beberapa bulan kemudian, setelah mengalami pro-kontra seputar RUU Perkawinan tersebut, HM. Rasjidi mengaku lega setelah Fraksi Persatuan dan Fraksi ABRI membuahkan sejumlah kesepaktan, di antaranya: Hukum agama Islam dalam perkawinan tak dikurangi atau diubah, hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tak mungkin disesuaikan dalam RUU trsebut didrop (dihapuskan) dan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.[5]


Tafsiran Pancasila

Dicantumkannya dasar Ke-Tuhanan Yang Maha Esa di dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 mengandung makna bahwa para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 dan pembentuk negara kita dahulu meyakini dan mengakui kepercayaan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam penjelasannya mengenai Pengertian Pancasila (1978) Bung Hatta mengatakan, bahwa pasal 29 ayat (1) UUD 1945 itu menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Karena pernyataan itu dicantumkan dalam bab Agama, artinya adalah bahwa kepercayaan yang dimaksud adalah kepercayaan agama yang dianut oleh bangsa Indonesia.

Agus Salim, salah seorang perancang Undang-Undang Dasar 1945 dalam tulisannya Ke-Tuhanan Yang Maha Esa (1953, diterbitkan kembali pada tahun 1977) yang telah disebut di atas, menegaskan hal itu dengan kata-kata, “Saya ingat betul-betul bahwa di masa itu (maksudnya pada tahun 1945:MDA) tidak ada di antara kita seorang pun yang ragu-ragu bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita maksudkan (adalah) “akidah, kepercayaan agama”. Hal ini semakin jelas kalau perkataan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam pasal 29 ayat (2)-nya yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.[6]

Terkait dengan pasal 29 ayat 2 ini, pada edisi 29 Desember 1973, harian ABADI pernah memuat pernyataan Bung Hatta yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “kepercayaannya itu” dalam kalimat ayat 2 pasal 29 UUD 1945 adalah “kepercayaan agama” dan bukan kepercayaan di luar agama.[7]

Lagipula, Prof. Hazairin-ahli hukum, pernah menungkapkan dalam bukunya “Demokrasi Pancasila:

“ Istilah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa itu hanya sanggup diciptakan oleh otak, kebijaksanaan dan iman orang Indonesia Islam, yakni sebagai terjemahan pengertian yang terhimpun dalam surat QS. 2:163 dan QS 112”.[8]

Seorang pemikir Muslim seperti Prof. Naquib al-Attas mengatakan, bahwa banyak istilah kunci dalam Islam yang kini menjadi kabur dan dipergunakan sewenang-wenang, sehingga menyimpang dari makna yang sebenarnya. Beliau menyebutnya sebagai penafi-islaman bahasa (de-Islamization of language).[9] Contohnya saat menafsirkan sila kedua-Kemanusiaan yang adil dan beradab, kemanusiaan yang dimaksud bukan kemanusiaan sekular yang tidak memiliki landasan wahyu. Sebab kata Mohammad Natsir,

“Atas nama kemanusiaan, masyarakat Barat mengizinkan bahkan mengesahkan perkawinan homoseksual. Atas nama kemanusiaan, ada yang mengusulkan agar hukuman mati dihapuskan. Atas nama kemanusiaan, para pelacur diberi kebebasan untuk “mencari nafkah”. Atas kemanusiaan, pemeran porno diizinkan menjalankan profesinya. Atas nama kemanusiaan, pelaku zina tidak dijatuhi hukuman mati dan peminum khamr dibebaskan menjalankan aksinya, dengan syarat tidak mengganggu orang lain”.[10]

Begitu pula dengan arti kata “adil” dan “adab”, banyak yang mengartikan kata “adil” sebagai tiada menyebelahi pihak mana pun dan menyamaratakan taraf tanpa batasan.Tafsiran mengenai kata adil ini pernah dijelaskan oleh Prof. HAMKA dalam Tafsir Al-Azhar-nya:

“Menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya”[11]

Begitu pula dengan kata “adab” yang diartikan hanya sebagai adat peraturan mengenai kesopanan. Lebih jauh KH. Hasyim Asyhari, menafsirkan kata adab ini dalam bukunya yang berjudul Aadabul 'Aalimwal-Muta'allim (edisi Indonesia: Etika Pendidikan Islam, Yogyakarta: Titian Wacana, 2007):

"Kaitannya dengan masalah adab ini, sebagian ulama lain menjelaskan, "konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan seseorang adalah mengharuskannya beriman kepada Allah (yakni dengan membenarkan dan meyakini Allah tanpa sedikit pun keraguan). Karena, apabila ia tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya dianggap tidak sah. Demikian pula keimanan, jika keimanan tidak dibarengi dengan pengamalan syari'at (hukum-hukum Islam) dengan baik, maka sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitupun dengan pengamalan syari'at, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab, maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syari'at dan belum dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah."

Maka, dengan masuknya dua istilah adil dan beradab ini, menutup konsep Humanisme Sekuler yang bisa dilekatkan pada kata Peri-kemanusiaan dan dengan kata lain, sila kedua ini juga tak lepas dari konsep Islam dan pandangan Islam (Islamic Worldview).

Kemudian setelah Pancasila penafsirannya di arahkan pada sekulerisme, netral agama atau bahkan komunisme pada jaman Orde lama dan Orde Baru, kini pada jaman Reformasi, Pancasila kembali di arahkan penafsirannya untuk menjauhkan umat Islam dari Syari’atnya. Mereka yang tidak suka umat Islam menjalankan Syari’atnya menuduh bahwa umat Islam anti-Pancasila, padahal jika kita mau melihat kembali pada sejarah masa lalu bangsa ini, Pancasila juga tak bisa dilepaskan begitu saja dari tokoh-tokoh Islam yang juga menjadi bagian dari the Founding Fathers bangsa ini, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Buya HAMKA saat memberika sambutan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama pada tanggal 27 Juli 1975:

“…baik Presiden Suharto sendiri, atau dari Menteri Dalam Negeri atau dari Menteri Pertahanan, atau dari yang mewakili Menteri P dan K, dan terakhir dari Letjen Ali Murtopo. Beliau-beliau telah dengan setulus hati memberikan pujian, menyatakan bahwa Ulama telah berhasil besar dalam mencapai kemerdekaan tanah air. Ulama telah berjasa besar. Ulama telah turut berkorban, ulama telah banyak memberikan pengorbanan dan arahan. Jasa ulama tidak dapat dilupakan dalam sejarah Indonesia ini”.[12]

Dengan demikian dapat disimpulkan, apabila merujuk pada penafsiran the Founding Fathers bangsa ini, Pancasila ditafsirkan sebagai berikut:

Sila pertama, Negara mengakui dan melindungi agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia yang berdasar Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, menghormati klaim kebenaran absolut yang secara khas sudah dimiliki oleh masing-masing agama dan menjamin adanya kemerdekaan dalam beribadah menurut ajaran dan keyakinan setiap warga Negara Indonesia.

Sila kedua, Kemanusiaan yang berlandaskan wahyu sehingga setiap manusia dapat menimbang yang sama berat, tidak berlaku zhalim, memahami dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Sila ketiga, melarang adanya setiap propaganda anti-agama dan anti-Tuhan yang dapat merusak dan memecah belah persatuan Indonesia.

Sila keempat, Rakyat dalam menjalankan kekuasaannya melalui sistem perwakilan dan keputusan-keputusannya diambil dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat serta penuh tanggung jawab, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diwakilinya. [13]

Sila kelima, sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka setiap orang diharuskan untuk menghormati hak-hak orang lain dan setiap rakyat Indonesia diharuskan mendapat perlakuan yang adil.


Oleh karena itu, amat disayangkan apabila sampai sekarang masih ada pihak-pihak tertentu yang ingin merubah penafsiran Pancasila kemudian dijadikan sebagai justifikasi untuk menjauhkan umat Islam dari syari’atnya. Jadi, kepada pihak-pihak tersebut saya hanya meminta: tolong kembalikan Pancasila pada tafsirannya semula!




Footnote:

[1] Adian Husaini, “Pancasila bukan untuk menindas Hak Konstitusional Umat Islam”, Gema Insani Press, Jakarta, 2009, hlm. 93.

[2] Ibid, hlm. 100-101. Lihat: Zainal Arifin, Orde Baru: Koreksi Total Terhadap Perjalanan Sejarah Bangsa, hlm. 25.

[3] Ibid, hlm. 101.

[4] Ibid, hlm 104-107 (diringkas).

[5] Ibid, hlm. 105.

[6] Ibid, hlm. 26. Hal yang sama juga pernah disampaikan pada kuliah subuh dari UHAMKA di Radio Kayu Manis 95.5 Fm pada tanggal 19 Mei 2011.

[7] Ibid, hlm. 109. Pernyataan Bung Hatta ini dimuat terkait mengomentari UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dimana di dalam pasal 2-nya berbunyi, “Suatu perkawinan dianggap sah jika dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing pihak yang bersangkutan”. Hal yang sama juga pernah disampaikan pada kuliah subuh dari UHAMKA di Radio Kayu Manis 95.5 Fm pada tanggal 19 Mei 2011

[8] Hazairin, Demokrasi Pancasila, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 80.

[9] Adian Husaini, op. Cit., hlm. 216.

[10] Ibid, hlm. 161-162.

[11] Ibid, hlm. 214.

[12] Rusydi Hamka, Biografi Prof. Dr. HAMKA, Pustaka Panjimas, 1981, hlm 248.

[13] Penafsiran mengani sila keempat diambil dari buku Rozikin Daman, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Rajawali Press, Jakarta, 1992, hlm. 102.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -