Posted by : Sarah Larasati Mantovani Friday 25 February 2011

Sekitar 2 hari yang lalu, saya dikirimi sebuah link oleh kawan saya di Facebook. Setelah saya baca, ternyata tulisan itu berisi sikap nabi saw terhadap nabi palsu sekaligus kecaman si penulis (Akhmad Sahal) terhadap salah satu ormas Islam, MUI dan Departemen Agama yang memaksa Ahmadiyah untuk mendirikan agama baru.*

Karena isi tulisannya cukup panjang, saya tidak akan berlama-lama untuk menceritakan isi tulisan kader NU yang menjadi kandidat Ph.D di Universitas Pennsylvania tersebut. Berikut tanggapan saya:


1. “Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi…”

Cerita tentang Nabi saw yang di datangi oleh Musailamah memang benar adanya tapi ada cerita yang di potong oleh si penulis dan tidak dicantumkan. Kemana cerita tentang kondisi Nabi saw yang saat itu sedang sakit sehingga tidak bisa membunuh nabi palsu-Musailamah? Kemana cerita tentang dua utusan Musailamah? Kemana perkataan Nabi saw yang ingin membunuh Musailamah?

Dalam kitabnya Al Sunan (Kitab Al Jihad, Bab Ar Rusul hadits no, 2380) Abu Daud meriwayatkan demikian :

Dari Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah Saw berkata pada dua utusan Musailamah, "Apa yang kalian katakan (tentang Musailamah)? Mereka menjawab, "Kami menerima pengakuannya (sebagai nabi)". Rasulullah Saw mengatakan pada mereka, "Kalau bukan karena utusan-utusan tidak boleh dibunuh, sungguh aku akan memenggal leher kalian berdua".

Arti "memenggal leher kalian berdua" adalah terjemahan dari lafadz Arabnya, "la-dharabtu a'naaqa-kuma". Lafadz ini diceritakan juga oleh Ahmad (hadits no. 15420), Al Hakim (2: 155 no. 2632). Ahmad (hadits no. 15420) melaporkan melalui Abdullah bin Mas'ud dengan lafadz "la-qataltu-kumaa", "aku pasti membunuh kalian berdua". Versi hadits ini diceritakan kembali oleh kitab-kitab sejarah seperti Al Thabari (Tarikh Al Thabari, Juz 3 Bab Masir Khalid bin Walid) dan Ibnu Katsir (Al Bidayah wa Al Nihayah, Dar Ihya' Al Turats Al Arabi , tt, Juz 6, hal: 5).

Dalam riwayat lain, Abu Daud (hadits no. 2381), Al Nasa'i (Al Sunan Al Kubra, 2: 205) dan Al Darimi (Kitab Al Siyar, hadits no. 2391) menceritakan kesaksian Haritsah bin Al Mudharib dan Ibn Mu'ayyiz yang mendapati sekelompok orang dipimpin Ibn Nuwahah di sebuah masjid perkampungan Bani Hanifah, ternyata masih beriman pada Musailamah. Setelah kejadian ini dilaporkan pada Ibn Mas'ud, beliau berkata pada Ibn Nuwahah (tokoh kelompok tersebut), "Aku mendengar Rasulullah saw. dulu bersabda "Kalau engkau bukan utusan, pasti aku akan penggal kamu", nah, sekarang ini engkau bukanlah seorang utusan". Maka Ibn Mas'ud menyuruh Quradhah bin Kaab untuk memenggal leher Ibn Nuwahah. Ibn Mas'ud berkata, "Siapa yang ingin melihat Ibn Nuwahah mati, maka lihatlah ia di pasar". Masjid mereka itupun akhirnya turut dirobohkan (ringkasan dari versi aslinya yang agak panjang).

Riwayat ini, tak dapat disangkal lagi menjelaskan cara yang benar dalam menafsirkan hadits Rasulullah saw., bahwa para pengiman nabi palsu — sebagaimana telah disepakati para ulama — seharusnya dihukum mati. Penafsiran ini bukan hanya dijelaskan oleh Ibn Mas'ud yang menjadi saksi pertemuan Nabi saw. dengan utusan Musailamah, bahkan beliau mempraktikkan atau mencontohkan tuntunan Rasulullah saw. sendiri dengan menyuruh orang memenggal leher Ibn Nuwahah dan menghancurkan masjid mereka. [1]


2. “Ironis karena seorang menteri yang merupakan hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari konstitusi demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya”.

Memang setiap warga Negara berhak menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya, tapi Apakah setiap penganut suatu agama diperbolehkan untuk menodai kesucian agama lain dengan dalih kebebasan beragama? Apakah atas nama kebebasan beragama, seseorang diperbolehkan untuk tidak menganut agama apapun juga di Indonesia? Lalu kenapa harus ada kalimat “sesuai dengan hati nuraninya” dalam pasal 28E ayat (2) dan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada pasal 29 ayat (1) tersebut? Apakah perbuatan seseorang yang dengan sengaja menodai ajaran agamanya itu sudah sesuai dengan hati nuraninya?

Mengutip pertanyaan Pak Hamid Fahmy Zarkasy, ketika suatu agama dinistakan oleh orang di luar agama atau diluar otoritas siapa yang berhak memvonis? Dan jika dari dalam agama itu sendiri, siapa pula yang berhak menghukuminya? Pertanyaan yang sama mungkin bisa diajukan. Ketika suatu negara dihina atau diserang oleh orang dari luar negara atau dari dalam negara itu, siapa yang berhak mengadili? [2]

Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat:

Bahwa hak beragama sebagai hak individu adalah hak asasi yang melekat dalam setiap diri manusia semenjak ia lahir. Namun, dalam konteks berbangsa dan bernegara, hak beragama juga telah menjadi sebuah hak kolektif masyarakat untuk dapat dengan tenteram dan aman menjalankan ajaran agamanya tanpa merasa terganggu dari pihak lain. Oleh karena itu, Mahkamah menilai bahwa beragama dalam konteks hak asasi individu tidak dapat dipisahkan dari hak beragama dalam konteks hak asasi komunal.

Bahwa pembatasan mengenai nilai-nilai agama sebagai nilai-nilai komunal (communal values) masyarakat adalah pembatasan yang sah menurut konstitusi. [3]


3. “Disebut demikian “barangkali” karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan munculnya sejumlah nabi palsu”.

Dilihat dari tulisannya saja, terlihat bahwa si penulis tidak yakin dengan apa yang ditulisnya. Lalu bagaimana saya bisa benar-benar yakin kalau si penulis memakai sumber/rujukan yang benar kalau si penulisnya saja sudah tidak yakin?.


4. “Tapi bukankah sejauh ini mereka belum pernah membangun kekuatan militer untuk merongrong umat Islam dan pemerintahan yang sah seperti Musailamah pada masa khalifah Abu Bakr? Bukankah sejauh ini warga Ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya? Kalau memang begitu, apakah tidak keliru kalau mereka diperlakukan seperti para pemberontak?”

Siapa bilang ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya? Kalau memang begitu, kenapa harus ada masjid (plus toanya) yang di bangun khusus untuk jema’ah Ahmadiyah? Kita semua tahu bahwa masjid adalah lambang atau simbol bagi dakwah atau syiar Islam, lalu kalau sudah ada masjid khusus jema’ah ahmadiyah yang didirikan, itu berarti ahmadiyah bukan lagi menuntut untuk di beri ruang menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya tapi juga menuntut untuk menyebarkan ajarannya.

Di Amerika Serikat-Negara yang sangat mengelu-elukan kebebasan dan menjunjung tinggi HAM serta demokrasi ini ternyata juga tidak sebebas yang dikatakan oleh para aktivis Liberal dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan, Kelompok Ahmadiyah di sana yang berencana membangun masjid dan pusat kebudayaan di atas tanah seluas 90 ha di kawasan terpencil di Walkersville, Maryland, sampai sekarang (sampai Amran Nasution menulis debat kecilnya dengan Ulil Abshar) tak kunjung berhasil. Masyarakat setempat keberatan (The Washington Post, 23 Oktober 2007).[4]


5. “Tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan syariat) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia”.

Selama saya belajar Hukum Islam, Maqashidussyari'ah atau ad-dharuriyyat al-khamsa terbagi menjadi: -hifdsu ad-din, hifdsu an-nafs, hifdz al-aql, hifds al-nasl dan hifds al-mal-.[5]

memang perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia penting tapi dari 5 tujuan syari'ah di atas yang paling terpenting adalah Menjaga Agama baru setelah itu menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta.

kalau menjaga jiwa lebih penting maka ini bukan Maqashidussyari'ah lagi namanya karena Maqashidussyari'ah itu tidak bisa di lepas secara satu per satu dan sudah tersusun secara sistematis, sama halnya dengan Pancasila, tidak mungkin kan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dulu baru keTuhanan Yang Maha Esa?.


6. “Kalau Nabi saja demikian sikapnya, alangkah lancangnya Front Pembela Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat dalam sikap mereka terhadap jemaah Ahmadiyah”.

Sebenarnya tak hanya sekali atau dua kali ini MUI mendapat kecaman seperti yang di lontarkan oleh si penulis, Ulil Abshar Abdalla-Ketua Jaringan Islam Liberal, Di edisi TEMPO 11 November 2007, juga melakukan hal yang sama saat ada Nabi Palsu bernama Ahmad Moshaddeq, yaitu mengecam reaksi MUI atau ormas Islam Muhammadiyah dan NU. Katanya, seseorang tak bisa dipaksa memeluk suatu keyakinan dan agama yang tak sesuai dengan kata hati.

Mengenai hal ini, Amran Nasution-wartawan senior TEMPO, menanggapi:

“Tentu pernyataan normatif itu betul. Tapi di luar konteks. Sebab persoalan dari kasus Moshaddeq adalah mengubah syahadat, Rasul baru, sholat tak wajib, dan sebagainya, yang tentu menyalahi prinsip Islam yang disepakati para ulama. Tak ada urusan paksa-memaksa di sini. Kalau Moshaddeq membuat agama baru yang tak dia kaitkan dengan Islam, apakah namanya Progresif, Liberal, atau Neocon, lalu dia susun ajarannya sesuka hati, pasti tak ada yang keberatan, apalagi membuat fatwa. Paling dia dianggap gila, atau orang salah jalan yang harus didakwahi”.

Terkait dengan tindakan ormas yang sewenang-wenang itu memang karena pemerintah tidak juga bertindak tegas, baik itu terhadap Ahmadiyah maupun terhadap ormas-ormas yang berbuat sewenang-wenang.

Saya juga menyayangkan sikap media yang tak bisa bersikap netral dalam memberitakan kasus Ahmadiyah ataupun Temanggung dan seakan tak mau perduli dengan berita yang saya nilai cukup berlebihan tersebut, apalagi jika ahli yang di mintai pendapat adalah aktivis Liberal. Berarti benar apa kata Pak Amran dalam sebuah debat kecilnya dengan Ulil Abshar di situs hidayatullah.com pada tahun 2007 lalu, bahwa:

“Seringkali malah aparat Pemerintah ragu-ragu bertindak karena pers arus utama selalu mendukung suara kaum Liberal. Padahal undang-undang sudah cukup jelas. Ujungnya, ummat yang marah terjebak main hakim sendiri. Mereka pun jadi korban kecaman kaum Liberal, disebar-luaskan pers yang senantiasa berpihak”



Jadi kesimpulan saya mengenai tulisan Akhmad sahal:
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang benar itu dengan yang salah, dan kamu sembunyikan yang benar itu padahal kamu mengetahuinya.”
(QS. Al-Baqarah: 42)





*bagi teman-teman yang belum membaca tulisan Akhmad sahal, silahkan klik Link ini:
http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2011/02/16/kol,20110216-324,id.html



Footnote:

[1] Ahmad Rofiqi, Benarkah Rasulullah Enggan Membasmi Nabi Palsu? (Bag. I), http://pemikiranislam.multiply.com/journal/item/26.

[2] Hamid Fahmy Zarkasy et. al., Islam versus Liberalisme: menjawab gugatan terhadap UU Penodaan agama, UU No. 1/PNPS/1965, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Jakarta, 2010. Hlm. 53&55.

[3] Lihat putusan MK tentang Uji Materi Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan agama, hlm. 294-295.

[4] Amran Nasution, “Debat seru antara Hidayatullah.com VS Islam Liberal: Dari Moshaddeq Sampai Mount Carmel”, 23 November 2007, http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5844&Itemid=1

[5] Mohd. Daud Ali, Pengantar Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, 1993. Hlm. 55



Nb:
untuk seorang kawan di Facebook yang telah memberikan saya Link tersebut saya hanya bisa mengucapkan terima kasih, karena tanpa pemberitahuannya tulisan ini tak akan tercipta :

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -