Posted by : Sarah Larasati Mantovani Tuesday 11 January 2011

“Ayat mana saja yang Kami naskh, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik darinya atau sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?”
(QS. Al-Baqarah: 106)


Naskh dan definisinya

Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma tentang firman-Nya “Ayat mana saja yang Kami naskh,” ia mengatakan, “Artinya, ayat mana saja yang Kami (Allah) gantikan”. (Ath-Thabari Juz II/473).

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid, “Ayat mana saja yang Kami naskh”, artinya ayat mana saja yang Kami (Allah) hapuskan”. (Ibnu Abi Hatim Juz I/321).

Ibnu Abi Najih meriwayatkan dari Mujahid tentang ayat, “Ayat mana saja yang Kami naskh”, ia mengatakan, “Kami (Allah) membiarkan tulisannya, dan Kami mengganti hukumnya.” Diriwayatkan dari beberapa sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhum. (Ibnu Abi Hatim Juz I/322).

Ibnu Abi Hatim mengatakan, “Diriwayatkan juga dari Abdul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’b Al-Qurazhi seperti ini.” (Ibnu Abi Hatim Juz I/322).

Firman-Nya, “Ayat mana saja yang kami naskh”, Ibnu Jarir mengatakan, “Artinya hukum suatu ayat yang Kami (Allah) pindahkan kepada yang lainnya serta kami ganti dan Kami rubah, yaitu menjadikan yang halal itu haram dan menjadikan yang haram itu halal, serta yang boleh menjadi tidak boleh dan yang tidak boleh menjadi boleh. Dan hal ini tidak terjadi kecuali dalam masalah perintah, larangan, keharusan, mutlak dan pembolehan. Adapun berkaitan dengan ayat-ayat kisah, maka tidak ada nasikh (menghapus) dan mansukh (mengganti).

Pada asalnya, kata naskh berasal dari kalimat “naskhul kitaab” yang artinya menukil dari satu naskah ke naskah lainnya. Demikian pula makna naskh hukum kepada yang lainnya berarti pemindahan dan penukilan ungkapan kepada selainnya, baik yang dinaskh-kan itu hukum ataupun tulisannya, Karena keduanya tetap saja mansukh (dinaskh). (Ath-Thabari Juz I/472).

Firman Allah Ta’ala (aw nunsahaa) bisa dibaca dengan (salah satu dari) dua bacaan, nun sa a haa atau nunsiha. Adapun yang membacanya dengan nun sa a haa maka artinya adalah (Kami akhirkan).

‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari ‘Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma tentang firman-Nya “Ayat mana saja yang Kami naskh atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,” ia mengatakan, “(Artinya) Allah berfirman, “Ayat mana saja yang Kami rubah atau Kami tinggalkan, tidak Kami ganti”. (Ath-Thabari juz II/476).

Dan Mujahid meriwayatkan dari beberapa sajabat Ibnu Mas’ud, “(Artinya) Kami tidak merubah tulisannya dan hanya merubah hukumnya saja.” (Ath-Thabari juz II/473)

‘Ubaid bin ‘Umair, Mujahid dan ‘Atha’ berkata, “Atau Kami menangguhkannya, yaitu mengakhirkan dan menundanya”. (Ath-Thabari juz II/ 477).

‘Athiyyan al-‘Aufi mengatakan, “Artinya Kami akhirkan ayat tersebut dan Kami tidak menghapusnya”. (Ath-Thabari juz II/477).

As-Suddi mengungkapkan pendapat serupa. Demikian pula ar-Rabi’ bin Anas. (Ibnu Abi Hatim juz I/326).

Adapun yang membacanya dengan “Atau Kami jadikan lupa”, ‘Abdurrazaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah mengenai firmanNya, “Ayat mana saja yang Kami naskh”, ia mengatakan, “Allah ‘azza wa jalla menjadikan Nabi-Nya sholallahu’alaihi wassalam lupa sesuai dengan kehendak-Nya dan menaskh ayat menurut kehendak-Nya.”

Firman-Nya, “Kami datangkan yang lebih baik darinya atau sepadan dengannya,” dalam masalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan orang-orang yang di bebani tanggung jawab (syari’at). Sebagaimana ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallhu’anhuma tentang firman-Nya, “Kami datangkan yang lebih baik darinya atau sepadan dengannya,” ia mengatakan, “Yakni manfaatnya lebih baik dan lebih ringan bagi kalian”. (Ath-Thabari juz II/481)

Abul ‘Aliyah mengatakan, “Ayat mana saja yang Kami naskh”, yakni Kami (Allah) tidak melakukannya atau Kami menangguhkannya. Artinya Kami menundanya di sisi Kami, Kami akan menurunkannya atau menurnkan yang serupa dengannya”. (Ibnu Abi Hatim juz I/326).

“Kami datangkan yang lebih baik darinya atau sepadan dengannya”, as-Suddi mengatakan, “Artinya, Kami akan menurnkan yang lebih baik dari yang Kami hapus atau sebanding dengan yang Kami tinggalkan”. (Ibnu Abi Hatim juz I/327).

Dan juga tentang firman-Nya, “Kami datangkan yang lebih baik darinya atau sepadan dengannya,” Qatadah mengatakan, “Yakni (Kami turunkan) ayat yang mengandung pemberian keringanan, rukshah, perintah dan larangan”. (Ibnu Abi Hatim juz I/327).


Contoh dari nasikh dan mansukh

Dahulu Allah membolehkan Nabi Adam menikahkan puterinya dengan puteranya sendiri, kemudian setelah itu Allah mengharamkannya.

Allah pernah membolehkan Israil (Nabi Ya’qub) dan anak-anaknya menikahi dua wanita yang bersaudara (bersamaan), tetapi hal itu diharamkan dalam syari’at Taurat dan Kitab-kitab setelahnya.

Allah pernah memerintahkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam agar menyembelih puteranya, kemudian Dia menaskhnya sebelum beliau melaksanakannya.

Allah juga memerintahkan kebanyakan Bani Israil untuk membunuh orang-orang yang menyembah anak sapi di antara mereka, kemudian Dia menarik kembali perintah tersebut agar tidak membinasakan mereka.

Allah pernah memerintahkan Rasulullah sholalahu’alaihi wassalam untuk kiblat ke arah Baitul Maqdis kemudian Dia menaskhnya untuk merubah kiblat ke arah Masjidil Haram setelah Rasulullah sholallahu’alaihi wassalam berdoa kepada-Nya.

Allah pernah memerintahkan para wanita yang ditinggal mati suaminya untuk menjalani masa iddah selama setahun lamanya di rumahnya dengan diberi nafkah dari harta mantan suaminya, kemudian perintah itu dimansukh oleh Allah dengan harus menjalani masa iddah selama 4 bulan sepuluh hari.

Para Mufassir berbeda pendapat mengenai masalah penasikh-mansukhan Surat Al-Maidah:5 terhadap Al-Baqarah:221. Di dalam kitab tafsir Ibnu Katsir tentang tafsir Al-Baqarah ayat 221 memang tidak diterangkan secara terperinci mengenai penasikh-mansukhan kedua surat tetapi dalam kitab-kitab tafsir lain memang disebutkan mengenai penasikh-mansukhan kedua surat tersebut bahwa hukum menikahi wanita ahlul kitab yang ada di surat Al-Maidah sudah tidak berlaku lagi (Lihat Kitab Ayatul Ahkam).

Lalu kenapa Allah membiarkan tulisannya dan benar-benar tidak menghapusnya?
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Zubair, ia berkata:
“Aku katakan kepada ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu: Firman Allah: “Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan sitri,” telah mansukh dengan ayat yang lain. Lalu mengapa engkau tetap menulisnya atau mengapa engkau tetap membiarkannya?”, ‘Utsman menjawab: “Wahai saudaraku, aku tidak akan merubah sesuatu pun dari tempatnya”. (Fathul Baari Juz VIII/48 dan Al-Bukhari no. 4530).

Masalah yang dipersoalkan oleh Ibnuz Zubair kepada ‘Utsman ialah, apabila hukumnya sudah dihapus lalu apa hikmah tetap mempertahankan tulisannya padahal hukumnya sudah dihapus? Sedangkan, dengan mempertahankan tulisannya sementara hukumnya sudah dihapus akan mengesankan bahwa hukumnya masih berlaku. Lalu Amirul Mukminin memberikan jawabannya. Ia menjelaskan bahwa ini adalah masalah Taufiqiyah (sudah baku, hanya Allah Yang Maha Mengetahui hikmahnya). Aku menemukannya tertera dalam Mushaf, maka aku pun tetap mencantumkannya sebagaimana yang aku dapati.


Kesimpulan:
Nasikh dan mansukh merupakan penghapusan dan penggantian hukum yang lama pada hukum yang baru. Hal-hal yang tadinya tidak boleh menjadi boleh, yang boleh menjadi tidak boleh atau yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal. Nasikh dan mansukh merupakan hak Allah Azza wa Jalla semata dan tidak ada suatu hukum dapat terhapus dan terganti tanpa izin dan kuasaNya serta hanya Dia yang mengetahui hikmah kenapa surat yang dinasikh mansukh tidak benar-benar dihapus kalimatnya.
Wallahu’alam.


Referensi:
Tafsir Ibnu Katsir Juz 1-2 dengan judul asli Al-Mishbaahul Muiir fii Tahdzibi Ibni katsir (Tim Ahli Tafsir di bawah Syaikh Shafiyyurahmah al-Mubarakfuri, Riyadh, Arab Saudi), Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -