- Back to Home »
- History »
- Romantisme Indonesia-Jepang
Posted by : Sarah Larasati Mantovani
Thursday, 17 October 2013
Mr. M.Khalid Higuchi dan Bolpoin pemberiannya. |
“Selain dengan Belanda, Inggris dan Portugis, Indonesia
pernah mengalami kenangan pahit dengan Jepang di masa lalu…”.
Kenangan pahit tersebut setidaknya tergores saat Pemerintahan Militer Jepang menjajah Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945 (sekitar 3,5 tahun). Pemerintah Jepang yang pada saat itu sedang mengadakan perang dengan Amerika Serikat beserta sekutunya melihat negara jajahannya, Indonesia dengan umat Islamnya potensial untuk membantu Jepang kala Perang Dunia kedua. Jepang melihat umat Islam mempunyai kekuatan untuk membantunya berperang.
Kenangan pahit tersebut setidaknya tergores saat Pemerintahan Militer Jepang menjajah Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945 (sekitar 3,5 tahun). Pemerintah Jepang yang pada saat itu sedang mengadakan perang dengan Amerika Serikat beserta sekutunya melihat negara jajahannya, Indonesia dengan umat Islamnya potensial untuk membantu Jepang kala Perang Dunia kedua. Jepang melihat umat Islam mempunyai kekuatan untuk membantunya berperang.
Propaganda tersebut ternyata berhasil, hingga membuat mayoritas rakyat di Jawa menyambut pasukan-pasukan Jepang yang berjatuhan dari atas pesawat-pesawat Jepang dengan penuh semangat. Namun, propaganda manis tersebut tidak berlangsung lama saat Jepang menerapkan Romusha atau sistem kerja paksa seperti yang pernah diterapkan oleh penjajah Belanda dulu. Melalui Romusha, rakyat Indonesia semakin lama semakin tidak diperlakukan secara manusiawi oleh Jepang.
Situasi buruk tersebut juga diperparah dengan banyaknya perempuan Indonesia yang dipaksa menjadi Jugun Ianfu (perempuan penghibur) tentara Jepang. Mereka biasanya direkrut dengan diambil begitu saja di jalan atau bahkan di rumah mereka, diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara (seperti yang terjadi pada ikon perjuangan jugun ianfu asal Indonesia, Ibu Mardiyem).
“Apa ada yang mau ditanyakan? Tapi lima menit saja ya”, tawar Dosen Sejarah Islam saya setelah selesai menjelaskan.
Kuliah Sejarah Islam kali ini mengingatkan saya pada laki-laki Jepang paruh baya berumur 80-an, Mr. Khalid M. Higuchi dari Japan Muslim Association yang saya kenal ketika meliput Konferensi Islam-Kristen se-Asia pada akhir Februari 2013 lalu. Kala itu, saya sedang menemani salah seorang teman sesama Reporter yang ingin mewawancarainya di sebuah hotel di bilangan Jakarta Pusat.
Sosoknya yang hangat dan ramah menyegarkan kembali ingatan saya akan hubungan Indonesia dengan Jepang selama ini, terlebih menurutnya jumlah Muslim di Jepang yang berjumlah sekitar 120.000 jiwa mayoritas berasal dari Indonesia.
Indonesia memang pernah punya kenangan pahit dengan Jepang, namun Jepang pula yang menambal satu per satu hubungan kelam tersebut menjadi rajutan yang indah. Tercatat, pasca Tsunami Aceh 2004 lalu, rakyat Jepang bersama dengan pemerintahnya memberikan bantuan sebesar Rp. 2 triliun. Tidak hanya saat Tsunami Aceh, bahkan, menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Ginandjar Kartasasmita, saat bencana alam lain di Indonesia, Jepang selalu berada paling depan, paling pertama dan paling besar memberi bantuan.
Kini setelah hampir 68 tahun berlalu, romantisme Indonesia dengan Jepang tidak hanya sekedar memperlihatkan hubungan diplomatik antar dua negara Asia saja, tetapi lebih dari itu. Bukan karena propaganda, melainkan karena rasa simpati yang amat sangat dan ikatan sayang sebagai sesama manusia, atau bahkan ikatan keimanan jika ia seorang Muslim.
Keterangan Foto : Kiri Mr. Khalid M. Higuchi - Perwakilan dari Asosiasi Muslim Jepang. Kanan Bolpoin pemberiannya.
Sumber :
> Kuliah Sejarah Islam, Rabu 27 Juni 2013, Solo
> Harry J. Benda, “Bulan Sabit dan Matahari Terbit : Islam Indonesia Pada masa Pendudukan Jepang”, Pustaka Jaya, 1980.
> Republika.co.id
> kapanlagi.com
> mirajnews.com
> wikipedia.org