- Back to Home »
- Opinion »
- Ancaman Feminisme Mazhab Chichago
Posted by : Sarah Larasati Mantovani
Monday, 5 March 2012
Seorang Doktor
Sosiologi perempuan di sebuah perguruan tinggi Islam negeri di Jakarta dengan
lugasnya berkata, “Dulu saya ini memang bermazhab Syafi’I tapi sekarang saya bermazhab
Chichago”. Pernyataan tersebut ia ungkapkan saat menjadi pembicara di acara
seminar tentang Feminisme dan Kesetaraan Gender, yang saya ikuti pada Kamis
lalu (22/12/2011).
Lain lagi dengan
seorang feminis yang pernah menulis pengalamannya selama hamil dan melahirkan
di blognya. Dalam tulisannya yang berjudul, “Feminis, ASI dan Klas”, ia seperti
ingin memperlihatkan kebenciannya terhadap tanggung jawabnya sebagai seorang
Ibu. ”Dulu,
saat hamil, saya sering sesumbar: tidak mau menyusui anak. Saya hanya akan
kasih susu Sapi. Saya tidak mau menghabiskan waktu untuk menyusui. Saya sangat
paham hak anak, tapi my body is my right!. Enak saja semua tanggung
jawab ini jadi beban perempuan. Mulai dari hamil, melahirkan dan menyusui.
Rasanya tidak adil”, begitu ungkapnya.
Gerakan feminisme
kian hari memang semakin mengkhawatirkan di Indonesia, kenapa? Karena gerakan
ini dari tahun ke tahun semakin radikal, tepatnya sejak Indonesia meratifikasi
CEDAW (Convention on The Elimination
of All Forms of Discrimination against Women) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita.
Dari hasil ratifikasi tersebut, lahirlah UU. No. 7 tahun 1984, yang kemudian
disusul dengan terbitnya UU. No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, upaya legalisasi aborsi melalui UU Kesehatan dan adanya upaya
membuat Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam tandingan yang dibuat oleh
Prof. Musdah Mulia bersama tim pengarusutamaan gendernya pada tahun 2008 lalu.
Dalam bidang politik, aktivis feminis juga berada di belakangnya keluarnya UU
Pemilu tahun 2008 tentang kuota Caleg perempuan sebanyak 30 persen. (Dinar
Kania, Isu Gender: Sejarah dan
Perkembangannya, Jurnal ISLAMIA Vol III No. 5, hlm. 27).
Terakhir, para
aktivis feminis ini juga menggagas dan membuat draf RUU Kesetaraan Gender (RUU KG)
yang saat ini oleh Badan Legislasi sudah masuk dalam undang-undang prioritas di
tahun 2012. (lihat situs Hidayatullah, RUU KG Ancam Keutuhan Keluarga, 20/02)
Sejarah dan Perkembangan Feminisme
Istilah feminisme sendiri sebenarnya berasal dari
bahasa Latin, femina, yang artinya perempuan.
Konon dari kata fides dan minus yang kemudian menjadi fe-minus. Gerakan feminisme
sendiri lahir dari Barat, sekitar pada abad 18, dimana para wanitanya pada masa
itu, diperlakukan secara tidak manusiawi dan menjadi korban inquisisi (penyiksaan atas kesalahan
dalam beragama). Bisa di pastikan bahwa gerakan feminisme merupakan gerakan
yang lahir dari pemberontakan total terhadap segala sesuatu yang di anggap
telah mendiskriminasi/menindas perempuan. (Hamid Fahmy Zarkasy, Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam,
Jurnal ISLAMIA vol III, hlm. 3).
Bukti bahwa feminisme dan gender berasal dari
Barat dapat kita telusuri dari literatur mereka, menurut Mary Wollstonecraft
dalam bukunya yang berjudul A Vindication
of The Rights of Women, pada abad ke 18, perempuan mulai bekerja di luar
rumah karena didorong oleh kapitalisme industry. Maka, tidak heran jika
perempuan Barat pada zaman industri saat itu dibingungkan dengan dua pilihan:
menjadi wanita karir ataukah Ibu Rumah Tangga (lihat Taylor, Enfranchisement of Women, 1851).
Dalam perkembangannya, aktivis feminis radikal
mengusik pembagian hak dan tanggung jawab seksual serta reproduksi perempuan
dan laki-laki yang dianggap tidak adil. Sebab perempuan sering diposisikan
sebagai alat pemuas laki-laki. Feminisme pada akhirnya mengakui keabsahan
homoseks dan lesbianisme secara religius, kemudian tanpa malu-malu lagi, para
penyokong feminis radikal juga mendeklarasikan bahwa perempuan dapat hidup dan
memenuhi kebutuhan seksnya tanpa laki-laki. Itulah ide awal yang melahirkan
praktek seks menyimpang yang disebut lesbianisme
di Barat. (Hamid Fahmy Zarkasy, op. cit., hlm. 5).
Hal ini sejalan pula dengan tanggapan dari Rena
Herdiyani, selaku Direktur Eksekutif LSM Kalyanamitra yang merupakan salah satu
penggagas RUU Kesetaraan Gender, saat saya tanyai tentang hak-hak transgender
dalam RUU Kesetaraan Gender via email, Jum’at 17/02 lalu, “Tidak secara
spesifik memuat hak-hak transgender, tetapi UU ini diharapkan dapat melindungi
perempuan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi berdasarkan apapun, termasuk jenis kelamin, etnis, status perkawinan,
kehamilan, usia, kecacatan, penyakit atau kondisi kesehatan yang menimbulkan
stigma, orientasi seksual, identitas gender, status sosial, status ekonomi,
jenis pekerjaan, atau status lainnya”.
Dengan demikian,
rasanya pantas saja jika saya menyebut feminisme radikal ini dengan sebutan
Feminisme mazhab Chichago karena memang paham ini berasal dari Barat.
Feminisme Ancam Keutuhan Keluarga?
“Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang
menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan
laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan
adil di semua bidang kehidupan”. (pasal 1 ayat 2 RUU Kesetaraan Gender).
Berdasarkan
pasal di atas, pasal ini menganjurkan pada perempuan Indonesia agar bisa setara
posisi dan kondisinya dengan laki-laki di semua bidang kehidupan, termasuk
ranah agama. Mengenai hal ini yang paling sering dipersoalkan oleh aktivis
Feminis adalah Hak Waris antara laki-laki dan perempuan yang berbeda dalam
Hukum Waris Islam.
Selain
itu, melalui RUU ini, para aktivis feminis menggugat perempuan yang posisinya
hanya bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga dan kondisinya tidak diizinkan untuk
bekerja di luar rumah oleh suaminya. Mereka menganggap bahwa suami yang tidak
mengizinkan para istrinya untuk bekerja di luar rumah sebagai salah satu
kekerasan dalam rumah tangga (lihat pasal 9 ayat 2 UU No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Tentunya,
kondisi seperti itu seharusnya disikapi secara bijak oleh negara, atas dasar
apa perempuan tidak diizinkan oleh suaminya? Jikalau memang istri tidak
diizinkan bekerja karena tidak bisa membagi waktunya antara pekerjaan dan
keluarga, negara tidak berhak untuk mengkriminalisasi dengan hukuman penjara
selama 3 tahun (lihat pasal 49 poin b UU. No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Yang
mengherankan, kenapa di negara mayoritas Muslim justru perempuannya ingin
menerapkan suatu paham yang jelas sangat berbeda dengan kultur bangsanya
sendiri? Atau bahkan berbeda dengan nilai-nilai agama yang dianutnya?. Coba
kita lihat agama lain, Kristen misalnya, dari jauh-jauh hari, tepatnya sejak
tahun 2006, perempuan Kristen sudah diantisipasi untuk menghindari gerakan
feminisme ini dan tidak mengadopsinya (SHINE: Wanita
Kristiani Harus Hindari Gerakan Feminisme, 04 Oktober 2006), bahkan gereja
Katolik Prancis juga sudah mewaspadai bahaya teori gender ini karena teori
Gender yang di ajarkan bertentangan dengan ajaran Katolik. (Gereja
Prancis Waspadai Teori Gender, Indonesia Malah Bangga, hidayatullah.com, 29
September 2011).
Sesuai dengan pasal 28J ayat 2 UUD 1945, atas
dasar apapun (baik itu berdasarkan CEDAW atau Kesetaraan Gender), seseorang
yang menjalankan hak dan kebebasannya harus tunduk pada pembatasan yang telah
ditetapkan undang-undang, termasuk tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
agama.
Oleh karena itu, seharusnya feminisme mazhab
Chichago tidak bisa diterima di Indonesia, karena selain mempunyai kultur yang
berbeda, perempuan Indonesia, khususnya perempuan muslim tidak punya pengalaman
buruk seperti perempuan Barat. Mereka bahkan tetap bangga akan posisinya, meski
hanya sebagai Ibu Rumah Tangga. Dengan demikian, tidak salah jika saya
mengatakan feminisme mazhab Chicago dapat mengancam keutuhan keluarga,
khususnya keluarga muslim.