- Back to Home »
- Investigation »
- RUU Kesetaraan Gender Ancam Keutuhan Keluarga
Posted by : Sarah Larasati Mantovani
Sunday, 4 March 2012
Setelah sekian lama tidak terdengar geliatnya, diam-diam kelompok aktivis feminis melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan (PP) dan Perlindungan Anak (PA) telah menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) dan Naskah Akademik Kesetaraan Gender (KG). Kini, mereka tengah berupaya mendorong agar draf RUU dan Naskah Akademik itu segera dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
RUU ini memang sepi dari pemberitaan. Padahal, menurut sumber hidayatullah.com, draf RUU KG sudah ada di Kementerian PP dan PA sejak tahun 2010. Besar dugaan kondisi ini sengaja diciptakan agar tidak timbul resistensi umat Islam terhadap draf RUU ini.
Bahkan, hingga berita ini diturunkan, saat saya menanyakan seputar perkembangan RUU ini ke Lusy, staff ahli DPR dari fraksi PKS, Jum'at (24/02/2012) lalu, ia mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada lagi rapat-rapat dengar pendapat yang dilakukan oleh Komisi VIII.
Bahkan, hingga berita ini diturunkan, saat saya menanyakan seputar perkembangan RUU ini ke Lusy, staff ahli DPR dari fraksi PKS, Jum'at (24/02/2012) lalu, ia mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada lagi rapat-rapat dengar pendapat yang dilakukan oleh Komisi VIII.
Ledia Hanifa Amalia, anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan, meski draf RUU KG masih mentah namun agenda pembahasannya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2012.
“RUU ini saya lihat masih mentah ya, sehingga belum dibahas dan belum sampai tahap rapat dengar pendapat, juga masih berbentuk draf,” kata Ledia kepada Sarah Mantovani dari hidayatullah.com di Gedung Nusantara I, DPR-RI, pertengahan Februari lalu.
Rena Herdiyani, salah seorang aktivis feminis pengusung RUU KG mengungkapkan lahirnya RUU ini dilatarbelakangi persoalan masih banyaknya diskriminasi gender. “Kedudukan dan posisi perempuan masih dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki oleh masyarakat di berbagai bidang kehidupan,” ungkap Rena kepada situs ini.
Kata Rena, hal ini terjadi karena masih kuatnya nilai-nilai, praktek budaya, sistem sosial dan bentuk lainnya yang patriarkis alias mengutamakan kaum Adam daripada kaum Hawa. Nilai-nilai ini terinternalisasi dalam pikiran dan praktik hidup masyarakat.
Rena mencontohkan pembagian hak waris antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, masyarakat seringkali salah menafsirkan mengenai hak waris dalam Islam. Salah penafsiran ini menyebabkan perempuan mendapat perlakuan tidak adil.
“Seharusnya, ada pertimbangan-pertimbangan khusus sehingga perempuan juga mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, apalagi misalnya perempuan tersebut adalah kepala keluarga,” jelasnya.
Dalam konsep kesetaraan gender terdapat jargon “my body is my right”. Menurut Rena, my body is my rightmerupakan hak perempuan atas integritas dan kontrol terhadap tubuhnya sendiri. Karena, jelas Rena, selama ini kontrol terhadap perempuan ditentukan oleh pasangan, suami, keluarga, masyarakat, bahkan negara.
“Perempuan berhak miliki hak otonomi untuk pengambilan keputusan yang terkait dengan tubuhnya sendiri, misalnya cara berpakaian, hak untuk hamil, melahirkan dan menyusui, penentuan jumlah dan jarak kelahiran anak, memilih alat kontrasepsi, hak seksual dan seksualitas, dan lain-lain,” jelasnya.
Selain itu perempuan juga berhak untuk melakukan aborsi tanpa izin dari siapapun, meski perbuatan itu dilakukan akibat dari seks bebas dan berhak untuk tidak mengurus anak.
Dr Adian Husaini, Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), menganggap RUU KG sangat berbahaya. “Konsep Tuhan yang dipakai dalam RUU KG ini berpijak pada konsep Tuhan versi Iblis, diakui keberadaan-Nya tetapi utusan dan aturan-aturanNya ditolak atau dilawan,” kata Adian.
Kemudian, tambah Adian, RUU KG orientasinya hanya pada dunia, sedangkan dimensi akhiratnya dibuang. RUU ini juga dapat merusak tatanan kehidupan berkeluarga yang merupakan instrumen terkecil dalam terciptanya masyarakat berperadaban.
Adian memberi contoh, kalangan feminis sering mempersoalkan masalah double burden (beban ganda) yang dialami oleh seorang perempuan yang meniti karir. Di samping bekerja di luar rumah, perempuan itu juga masih dibebani mengurus anak dan berbagai urusan rumah tangga.
Dalam pasal 1 ayat 1 RUU KG, gender didefinisikan sebagai nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat setempat mengenai tugas peran tanggungjawab, sikap dan sifat yang dianggap patut bagi perempuan dan laki-laki, yang dapat diubah dari waktu ke waktu.
Dengan begitu, jika RUU ini disahkan, maka ke depan bakal banyak perempuan yang bekerja di luar rumah dan mengabaikan tugas pokoknya, yakni sebagai ibu rumah tangga.
Bahkan dalam ayat 2 pasal yang sama, menurut analisis Adian, perempuan yang memutuskan sebagai ibu rumah tangga tidak diperhitungkan dalam rangka berpartisipasi dalam pembangunan. Atas pertimbangan-pertimbangan itu Adian mengajak agar umat Islam menolak RUU KG.
Ledia bersama fraksi PKS sudah membahas RUU KG. Menurut Ledia, isi RUU tersebut terlalu detil mengatur kehidupan kaum perempuan saja, sama sekali tidak mengaitkan perempuan dengan anak. Sehingga, diasumsikan ada pengabaian terhadap keluarga dan anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) misalnya, sudah memberi masukan agar RUU KG ada klausul yang melindungi anak. “Kita ingin mendorong seorang perempuan, tapi anak dan keluarga juga harus terlindungi. Artinya tidak boleh ada pengabaian terhadap pihak lain. Jadi, saya pikir tidak mesti ada undang-undang yang kemudian mengatur perempuan secara khusus,” jelas Ledia.
Terkait tentang kuota politik yang menjadi salah satu isu kesetaraan gender, Ledia menjelaskan masalah itu terjadi karena disebabkan kompetensi.
“Tidak semua laki-laki boleh jadi anggota dewan, tidak semua perempuan boleh jadi anggota dewan. Jadi, masalahnya bukan pada persoalan gender, tapi adalah siapa yang kemudian mempunyai kompetensi yang memadai. Ini artinya, negara harus bertanggung jawab meningkatkan kompetensi seluruh warganya,” kata Ledia.
Draf RUU KG dibuat sebagai upaya meratifikasi CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita). Ledia mengingatkan, Indonesia tidak bisa begitu saja mengadaptasi CEDAW melalui berbagai RUU, karena Indonesia punya kultur yang berbeda.
Perjuangan kaum feminis untuk melepaskan sekat-sekat perbedaan laki-laki dan perempuan bukan kali ini saja dilakukan. Usaha kaum feminis itu bahkan sudah dimulai sejak Indonesia meratifikasi CEDAW dengan melahirkan UU No. 7 tahun 1984.
Kemudian UU No. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, upaya legalisasi aborsi melalui amandemen UU Kesehatan. Terakhir, saat Musdah Mulia bersama tim Pengarusutamaan gendernya pada tahun 2008 membuat Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam. */Sarah Mantovani, Ibnu Syafaat.
Sarah Mantovani dan Ibnu Syafaat via Hidayatullah.com :