Posted by : Sarah Larasati Mantovani Saturday 28 May 2011

Pada tulisan yang lalu kita sudah mengetahui bagaimana si penulis seperti berupaya untuk mendekonstruksi arti pluralitas menjadi pluralisme, arti toleransi beragama menjadi pluralisme agama, menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai justifikasi adanya pluralisme dan pluralisme agama, mengubah istilah Ahlul Kitab agar lebih universal (tak hanya sebatas umat Yahudi dan Nashrani saja) dan menjadikan filsafat perennial sebagai dasar hukum dari kerukunan umat beragama.


Pada bagian ini, saya akan mengupas tentang masalah teori Humanisme dan Sinkretisme yang juga saya temukan dalam buku “Merukunkan Umat Beragama”.

Pada halaman 102, saya menemukan istilah Humanisme di dalam buku ini:

“Karena itu, common platform (kalimatun sawaa) tersebut dapat dan seyogyanya bertitik tolak dari aspek etis agama-agama, tanpa harus berarti menjadikan agama sebagai ajaran etis dan moral belaka. Sehingga agama menjadi semacam humanisme universal saja. Jelas bahwa seluruh agama hampir sepenuhnya sepakat tentang yang baik dan yang buruk pada berbagai tingkat kehidupan manusia”.

Mungkin, istilah humanisme yang dimaksud oleh si penulis adalah ajaran atau paham yang berisi nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu benar, tetapi arti humanisme sebenarnya lebih dari itu. Di dalam buku Tren Pluralisme Agama-nya Dr. Anis Malik Thoha, telah dijelaskan mengenai definisi Humanisme ini:

“Pertama, humanisme adalah gerakan kebangkitan kultural dan pemikiran yang menegaskan cita dan concerns sekular, yang lahir sebagai akibat kajian-kajian literatur, seni dan budaya Yunani kuno dan Roma. Kedua, suatu metode berpikir yang menjadikan interest atau maslahat dan nilai-nilai humanis sebagai luar biasa penting dan di atas segala-galanya. Ketiga, suatu sistem filsafat yang memfokuskan concern-nya pada interest atau maslahat-maslahat kemanusiaan.”[1]

Kemudian, karena hanya memfokuskan pada pertimbangan dan nilai-nilai humanis murni, tanpa menghiraukan pertimbangan dan nilai-nilai ketuhanan sama sekali, maka humanisme pada dasarnya sekular, dan lebih dari itu ateistik, sebagaimana diakui oleh A.J Ayer (1910-1989), salah seorang pemimpin Asosiasi Humanis Inggris. Dalam sebuah artikelnya, ‘The Humanist Outlook’, dia menyatakan:
“Sesungguhnya kaum humanis Inggris tidak memeluk suatu keyakinan tertentu dan tidak ada satu hal pun yang common di antara mereka kecuali ateisme”.[2]

Senada dengan apa yang dituliskan oleh Pak Anis, ternyata humanisme ini seumur dengan peradaban Barat, sebagaimana yang pernah dituliskan oleh Pak Hamid Fahmy Zarkasy dalam artikelnya tentang “Humanisme”:
“Istilah humanisme tercipta pada tahun 1808. Aslinya bahasa Italia umanista yang berarti guru atau murid sastra klasik. Tapi cikal bakalnya dapat dilacak dari Yunani kuno, Romawi dan Renaissance abad ke 14. Semangat mengkaji filsafat, seni dan sastra klasik sangat tinggi. Keyakinan mereka pada kekuatan individu dan kemampuan manusia untuk menentukan kebenaran cukup kuat”.[3]

Tetapi pada hakikatnya pemikiran akan sentralitas manusia sebagai referensi nilai dalam segala hal adalah pemikiran yang cukup tua yang akar-akarnya bisa ditelusuri pada paruh kedua abad ke-5 SM, yaitu pada pemikiran Protagoras (sekitar tahun 490-420 SM), seorang pemuka kaum Sophist. Dari filosof inilah ditemukan suatu pernyataan bahwa “manusia adalah satu-satunya standar bagi segala sesuatu”.[4]

Maka dari itu, F.C.S Schiller (1863-1973), seorang filosof humanis modern dan penulis makalah ‘Humanism’ dalam Encyclopedia of Religion and Ethics, menyatakan bahwa mazhab Humanisme Modern merupakan kebangkitan kembali secara sadar pemikiran relativisme Protagoras yang sangat krusial yang terkandung dalam pernyataannya di atas.[5]

Lalu apa yang salah dari humanisme?, karena humanisme memindahkan orbit segala sesuatu dari Tuhan kepada manusia, maka Tuhan bukan lagi pusat dan ukuran segala sesuatu. Salah laku dalam hal seks, lesbi, homo, kawin, cerai, bunuh diri, aborsi dan lain-lain kini tidak lagi diukur dari agama.

Selain itu, ukuran baik-buruknya agama ditentukan oleh manusia. Agama yang baik harus humanis. Agama untuk manusia, bukan untuk Tuhan dan Tuhan pun kini diharuskan taat kepada manusia. Ciri-ciri dari paham ini adalah adanya fatwa baru: “syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia”, “tujuan (maqashid) syariah lebih penting dari syariah, maslahat kemanusiaan lebih utama dari syariah, konteks lebih penting daripada teks dan Prinsip ukhuwah Islamiyah didekonstruksi menjadi jama’ah Islamiyah yang berwajah perang dan garang lalu supaya lebih humanis diganti dengan ukhuwah insaniyah atau basyariyah.[6]


Selain itu, yang juga menarik perhatian saya adalah adanya unsur-unsur Sinkretisme di dalam buku ini, tepatnya pada Bab Aspek-Aspek Pemikiran Tarmizi Taher tentang Kerukunan Umat Beragama:
“Kini bentuk hubungan harmonis antara Islam dan Kristen mewujud dalam lima pola, yaitu: pembiaran dan aliansi (agreement and alliance), perlindungan dan perlakuan sebagaimana mestinya (protection and property), penghargaan dan persahabatan (respect and partnership), sinkretisme dan supersesi (syncretism and supersession), pluralisme dan perdamaian”. (hlm 199)

Nah, yang menjadi pertanyaannya adalah apakah sinkretisme memang benar-benar diperlukan agar hubungan antara Islam dan Kristen selalu berjalan dengan harmonis? Kalau memang ya, kenapa harus sinkretisme? Lalu konsep sinkretisme seperti apa yang penulis maksudkan? Dan apakah hubungan antara Islam dan Kristen memang sudah segawat itu, sehingga sinkretisme benar-benar diperlukan?.

Yang perlu kita ketahui yaitu arti dari sinkretisme itu sendiri. Sinkretisme yaitu suatu kecenderungan pemikiran yang berusaha untuk mencampur dan merekonsiliasi berbagai unsur yang berbeda-beda (bahkan mungkin bertolak belakang) yang diseleksi dari berbagai agama dan tradisi, dalam suatu wadah tertentu atau dalam salah satu agama yang ada (berwujud suatu aliran baru).[7]

Latar belakang mengenai lahirnya paham ini yaitu berasal dari India pada abad ke-15 dan lahir dalam pemikiran-pemikiran Kabir. Misalnya, dalam salah satu syairnya, Kabir bermunajat kepada Tuhannya dengan menggunakan berbagai nama yang ada dalam Islam dan Hindu, yakni Allah, Rama dan Hari :
“Baik Allah atau Rama, aku hidup atas namaMu…
Hari bertempat di Selatan, Allah di Barat…
Dan mengakui semua guru dan pemuka agama”.[8]

Sinkretisme baru muncul di Barat sejak dasawarsa akhir abad ke-19, tepatnya di Parlemen Agama Dunia (World Parliament of Religions) di Chicago pada tahun 1983, dimana gagasan unitarian sinkretik pertama kali diucapkan…”.[9]

Banyak di antara peneliti Barat (khususnya yang dulu terlibat aktif dalam misi pengkristenan di India, seperti J.N Farquhar) yang menunjuk Ram Mohan Roy sebagai pionir gerakan pembaruan sosio-religius Hindu Modern, dengan gerakannya “Brahma Samaj”, yang ia dirikan pada tahun 1828 juga secara umum merupakan yang terpenting, terbesar dan terluas.[10] Selain itu, Ram juga dikenal sebagai pengusung tren sinkretisme.[11]

Lalu apa yang salah dari sinkretisme ini? Karena sinkretisme ini meniscayakan adanya ruh kesetaraan dan relativisme absolut. Maka dengan demikian, tren ini memiliki kesamaan dengan tren-tren pluralisme yang lain. Selain itu, para tokohnya berkesimpulan niscayanya mencampuradukkan unsur-unsur terbaik dari setiap agama, melalui cara ini (yakni menghembuskan ruh kesetaraan dan relativisme absolut), sebagaimana terlihat jelas dari pengalaman spiritual atau mistisnya Ramakrishna Paramahimsa.

Yang menjadi masalah adalah saat sinkretisme ini bertemu dengan Islam, yaitu saat sinkretisme mencampur unsur-unsur religius yang berbeda-beda. Dalam hal ini, Pak Anis mengajukan pertanyaan, apakah agama-agama rela, atau paling kurang, toleran dengan kondisi semacam ini? Boleh jadi cara beragama seperti ini absah dan dapat diterima dalam tradisi Hindu. Akan tetapi Islam tidak mengakui dan membenarkan cara seperti itu sama sekali. Sikap tegas ini didasarkan pada aqidah tauhid murni yang merupakan saripati Islam yang mana segala sesuatu berhubungan dengan eksistensi serta hakikat agama ini (aqidah, syariat, dan akhlaq) adalah bersumber darinya. Maka tiada aqidah ataupun syariat ataupun akhlaq kecuali yang telah dijelaskan oleh Allah swt. Dan Rasul-Nya saw.. Posisi manusia dalam hal ini hanyalah pasrah dan tunduk secara total. Hakikat Islam tiada lain adalah kepasrahan dan ketundukan total ini. Dengan demikian tauhid mengandung makna kesatuan, kesempurnaan, dan saling melengkapi secara internal dan tidak memerlukan dari yang lain. Oleh karena itu, segala upaya untuk mendatangkan unsur religius dari agama-agama lain kemudian mencampurnya dengan tauhid tidak saja akan merusak kesatuan, kesempurnaan dan saling melengkapi secara internal, tapi juga akan meruntuhkan Islam dari dasar-dasarnya.[12]

Ke-inkosisten-an si penulis juga saya temukan di dalam buku ini, setelah sebelumnya si penulis menolak absolutisme dalam beragama pada halaman sebelumnya, tetapi pada halaman 168 si penulis menyuruh pembaca untuk tetap meyakini pada kebenaran agama yang diyakininya, sebagaimana yang ditulis oleh si penulis berikut ini:

“Tidak ada artinya bila seseorang menyatakan menganut suatu agama, bila dalam kenyataannya tidak meyakini kebenaran dari agamanya. Bila dilihat dari hubungan antara agama dengan penganutnya, maka pengertian di atas merupakan suatu kemestian. Sebab dengan pengertian inilah para penganut agama bisa mempertahankan kemurnian dan mengembangkan agamnya.”

Nah, apakah hal di atas bukannya menggambarkan absolutisme dalam beragama namanya?. Oleh karena itu, hal ini membingungkan saya sebagai pembaca.


Meski begitu, saya juga tidak bisa menafikan beberapa solusi lain untuk kerukunan umat yang ditawarkan oleh Tarmizi Taher dan oleh si penulis sendiri yang ada di dalam buku ini, di antaranya adalah:

1. Adanya kegiatan misionaris secara agresif dan upaya mengalihkan kelompok agama tertentu oleh kalangan misionaris dengan metode atau cara-cara penyebaran yang dipergunakan dan seringkali tidak sesuai dengan etika agama yang dianut sebaiknya jangan terulang kembali.

2. Adanya sikap respek terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di antara berbagai agama.

3. Dalam memelihara kerukunan umat beragama, ada ketentuan yang tak tertulis bahwa daripada berusaha membujuk orang-orang yang telah beriman kepada Tuhan untuk pindah agama, umat Islam, Katolik dan Protestan lebih baik mendakwahi orang-orang yang belum memiliki agama. Itulah lahan yang belum dimiliki oleh siapapun.[13]

4. Penghapusan saling curiga, lebih mengembangkan kejujuran dan keadilan dalam pengembangan misi dan dakwah masing-masing agama.

5. Adanya komitmen terhadap budaya toleran dan hidup saling mempercayai.

Selain itu, saya juga ingin menambahkan solusi dari kerukunan umat beragama ini:

1. Komitmen untuk saling jujur di antara para pemeluk agama yang berbeda. Seperti pemurtadan yang dilakukan terhadap umat Islam merupakan adanya ketidakjujuran dan tindakan menikam umat Islam dari belakang.

2. Masing-masing umat beragama sebaiknya tak perlu ikut mencampuri masalah agama lain. Contohnya seperti yang pernah dilakukan oleh salah satu sekretaris KWI-Romo Benny yang menyatakan dukungannya terhadap Ahmadiyah.[14]


Ada baiknya pula, kita renungkan pidato Buya HAMKA tentang Toleransi Beragama pada saat beliau masih menjabat sebagai ketua MUI berikut ini:

“Kepada orang-orang jujur yang tidak mau masuk (Islam) itulah Nabi mengadakan seruan:
“Wahai Ahlul Kitab! (Wahai tuan-tuan yang memegang kitab suci!). puncak seruan itu ialah sebagai tersebut dalam Surat ke 3, ‘Ali Imran (keluarga ‘Imran) ayat ke 64: ‘Wahai Ahlul Kitab, marilah kamu sekalian kepada satu kalimat yang kita sama atasnya, yaitu bahwa kita tidak akan memperhambakan diri kecuali kepada Allah, dan jangan sampai setengah kita mengambil yang setengah lagi jadi pujaan pula selain Allah; tetapi jika mereka berpaling, maka katakanlah: ‘Saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah (Muslimin)’ “.

Tegasnya, bahwa tuan kami hormati sebagai ummat yang pernah menerima kitab suci, baik taurat ataupun injil. Titik pertemuan kita ada, yaitu menyembah Allah. Kalau tuan tetap demikian, dan tidak menganggap sesama manusia sebagai Tuhan juga selain Allah. Kalau itu tidak bisa tuan lepaskan, silahkanlah menyaksikan bahwa kami terus jadi orang Islam, menyerah bulat hanya kepada Allah saja.

Meskipun pandangan kita berbeda namun kita masih bisa bertetangga secara jujur. Karena pada pendirian kami, Agama itu tidak bisa dipaksakan. Agama adalah soal petunjuk dan hidayat Ilahi..”[15]


Dengan demikian, kerukunan umat beragama itu akan tercipta apabila di antara pemeluk agama yang berbeda mau saling bertoleransi dan saling jujur satu sama lain, sehingga akan tercipta saling percaya dan hilangnya saling curiga di antara pemeluk agama yang berbeda.

Sangat tidak tepat pula apabila kita menjadikan ajaran-ajaran yang ada dalam pluralisme agama seperti filsafat perennial atau sinkretisme sebagai dasar hukum ataupun solusi untuk merukunkan umat beragama, apalagi jika paham-paham tersebut ditawarkan bahkan dipaksakan kepada umat Islam, karena yang akan terjadi bukan kerukunan yang tercipta tapi intoleransi di antara umat Islam dengan umat beragama yang lain.

Oleh karena itu, saya amat menyayangkan, pak Asep Syaefullah-yang dalam hal ini sebagai Ketua MUI II Kec. Pondok Aren, Tangerang, seperti belum memahami arti dari Pluralisme Agama, padahal fatwa MUI tentang Haramnya Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme Agama sudah dikeluarkan oleh MUI sendiri pada tanggal 29 Juli 2005. Selain itu, beliau memasukkan ajaran-ajaran Pluralisme Agama ke dalam bukunya, padahal di dalam Islam sudah jelas mana yang muslim dan mana yang kafir, mana yang halal dan mana yang haram. Lalu beliau juga memasukkan penafsiran Nurcholish Madjid yang sudah mendekonstruksi istilah Ahlul Kitab, yang seharusnya tak dilakukan oleh seorang Ketua MUI II yang pemahaman agamanya sudah tentu pasti di atas saya.

Cukuplah, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” dan jangan memaksa merukunkan umat beragama dengan Pluralisme Agama!. Wallahu’alam.



Footnote:

[1] Anis Malik Thoha, op. Cit., hlm. 52. Lihat artikel ‘Humanism’ dalam von Altendorf, Alan&Theresa, ISMS: A Compendium of Concepts, Doctrines, Traits, and Beliefs (Memphis: Mustang, [1991], 1993). Teori ini pun pernah diusung oleh Hassan Hanafi yang mengatakan bahwa kebenaran itu dari manusia untuk manusia. Beliau juga menggagas adanya ushuluddin baru dengan pilar pendukung konsep demokrasi dan liberalisme. (Hal ini telah disampaikan dalam Workshop bersama PKU ISID-Gontor di Sekretariat INSISTS pada tanggal 23 April 2011)

[2] Ibid, hlm. 52.

[3] Hamid Fahmy Zarkasy, Humanisme, Jurnal ISLAMIA Vol V no. 1, hlm. 118.

[4] Anis Malik Thoha, op. cit., hlm. 51. Lihat Russel Bertrand, History of Western Philosophy (London: Routledge, [1946] cet. 1994), hlm 9.

[5] Ibid, hlm. 51. Lihat Schiller. F.C.S., ‘Humanism’, dalam Hastings, James (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics (Edinburgh: T&T. Clark [1913] fourth impression 1959), vol. VI, hlm. 830.

[6] Hamid Fahmy Zarkasy, op. Cit., hlm. 120.

[7] Anis Malik Thoha, op. Cit,, hlm. 90.

[8] Ibid, hlm. 95.

[9] Ibid, hlm. 91.

[10] Ibid, hlm. 94.

[11] Ibid, hlm. 97.

[12] Ibid, hlm. 248-249

[13] Solusi ini disampaikan oleh Tarmizi Taher melalui wawancara yang dilakukan oleh si penulis pada tanggal 18 Juli 2006 dan 18 Agustus 2006 di Gedung BPPT, Jakarta. Hlm. 197

[14] lihat http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/03/07/13623/pbnu-bela-ahmadiyah-romo-benny-ikut-nistakan-islam-picu-kemarahan-umat/

[15] Pidato Buya Hamka pada hari Rabu 17 September 1975. Dikutip dari buku Biografi Prof. Dr. HAMKA, Rusydi Hamka, Pustaka Panjimas, 1981, hlm 269.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -