Posted by : Sarah Larasati Mantovani Thursday 26 May 2011

Saat sedang mencari buku-buku untuk bahan skripsi di toko buku Media Dakwah pada tanggal 04 Mei lalu, ada satu buku yang menarik perhatian saya, judulnya: “Merukunkan Umat Beragama (Studi Pemikiran Tarmizi Taher tentang Kerukunan Umat Beragama)” karya Asep Syaefullah-seorang Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Satyagama yang juga menjadi Ketua II MUI Kec. Pondok Aren, Tangerang. Buku ini diterbitkan pada tahun 2007 oleh Grafindo.


Yang membuat saya terkejut adalah isi buku tersebut sarat dengan Pluralisme Agama, dan tampaknya si penulis ingin menyamakan istilah pluralisme dengan pluralitas, padahal keduanya mempunyai arti yang berbeda.

Pada saat membaca pengantar si penulis, saya mendapati si penulis hendak menolak absolutisme dalam beragama:

“Karena itu, tidak boleh muncul sikap absolutisme-dalam beragama-sebab hanya akan menyebabkan munculnya ekslusifisme. Meskipun tidak dominan, tak dapat dipungkiri bahwa sikap ekslusifisme ini seringkali muncul dan mewarnai dalam membangun dialog kerukunan umat beragama di Indonesia. Masing-masing penganut agama mendakwahkan “kebenaran” secara eksklusif menurut ajaran agamanya sendiri-sendiri, sehingga menafikan kebenaran dalam ajaran agama lain”. (hlm 13-14)

Membaca tulisan tersebut, saya jadi teringat dengan ucapan ustadz yang mengajarkan saya mengaji, bahwa “dalam masalah aqidah, kita berhak untuk eksklusif tapi dalam masalah muamalah kita tidak boleh eksklusif (inklusif)”. Dalam perspektif saya, masalah aqidah bukan hal yang main-main, sedikit saja kita ragu pada kebenaran yang kita yakini (contohnya seperti meragukan bahwa Islam bukan satu-satunya agama yang benar) maka sikap skeptik dan agnostik akan lahir dari diri kita, dan jika hal ini terus terjadi pada diri kita maka lama kelamaan hal ini akan membatalkan keislaman kita. Wallahu’alam.


Selain itu, saya juga menemukan masalah ekslusifisme ini di halaman yang lain:

“Kalangan singularistik berargumen bahwa setiap agama mengajarkan bahwa doktrinyalah yang unik, eksklusif, superior dan yang paling benar dibanding dengan agama lain. Pandangan keagamaan demikian selalu mengarah pada sikap keagamaan yang eksklusif…”. “Jika singularisme diasumsikan sebagai sikap keagamaan yang eksklusif, maka semakin menguatlah asumsi bahwa pandangan singularisme seringkali menjadi persoalan sosial yang dapat mengganggu integritas masyarakat” (hlm. 23-24)

Si penulis juga menjadikan kasus-kasus yang terjadi antara umat beragama yang berbeda sebagai suatu penyebab adanya singularisme, seperti di Bosnia, kalangan Ortodoks, Katholik dan Islam saling membunuh. Umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan di Irlandia Utara. Di Sudan, senjata adalah alat komunikasi antara umat Islam dan Kristen. Di Kashmir, penganut Islam dan Hindu terus bertikai. Di Srilangka, penganut Hindu dan Buddha bercakar-cakaran. Dan di Indonesia sendiri, juga meletus berbagai kasus yang melibatkan agama sebagai salah satu pemicunya. Seperti Ambon, Poso, Sampit, Kupang, dan lainnya. (hlm. 24)

Lebih lanjut lagi, si penulis menuliskan:

“Dalam agama Kristen, dapat disaksikan bagaimana penguasa Serbia yang didukung oleh Gereja Ortodoks membumihanguskan masjid-masjid di Sarajevo menjadi lautan merah. Sedangkan di kalangan Muslim, dijumpai gerakan Hizbullah sering disebut sebagai pengerah bom maut untuk menghancurkan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis di Beirut. Peristiwa ini, menurut Azyumardi, digerakkan oleh sekelompok yang secara samar-samar mempunyai semangat keagamaan yang eksklusif dan berpandangan singularistik”. (hlm. 25)

Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah semua konflik antar umat beragama yang pernah terjadi merupakan penyebab dari adanya sikap singularisme? Ambillah contoh kasus yang pernah terjadi di Ambon dan Kupang, kedua kasus tersebut bukan karena kedua pemeluk agama yang berbeda (Islam dan Kristen) bersikap singularisme tetapi karena adanya sikap intoleran, tidak mau menghormati keberadaan umat dari agama lain, serta lahirnya sikap ekstremisme, yaitu tahu yang diyakini tetapi tidak mau tahu yang diyakini orang lain.[1]


Apalagi pada halaman lain, saat si penulis menceritakan tentang biografi Tarmizi Taher, si penulis menuliskan tentang penyebab dari konflik umat beragama:

“Komunis tidak hanya berbahaya bagi umat Islam, tetapi juga mengancam keberagamaan umat lain. Dicontohkan, di Timor Timor, kaum komunis termasuk paling utama yang menentang integrasi. Konflik-konflik umat beragama tahun 1995 di Timor Timor bukan tidak mungkin ditunggangi atau disusupi komunis. “Maka umat Katholik hendaknya waspada pada teologi pembebasan yang diimpor dari Amerika Latin, Filipina dan Australia”. “

Menanggapi hal ini, dalam perspektif saya, setiap umat beragama berhak mengklaim bahwa agamanya-lah yang benar, karena masing-masing agama sudah dari sananya mempunyai ciri khas berbeda yang tentunya bersifat absolut. Islam dengan Tauhidnya, Kristen dengan Trinitasnya, Buddha dengan Brahmananya, dll. Tentunya kita juga tidak bisa memaksakan masing-masing umat beragama untuk melepaskan kebenaran yang telah diyakininya. Oleh karena itu, hal ini tidak bisa menjadi justifikasi bahwa singularisme menjadi satu-satunya penyebab dari semua konflik umat beragama yang pernah terjadi. Apalagi si penulis juga tidak menjelaskan lebih jauh, doktrin yang seperti apa dan bagaimana yang dimaksud?.


Selain itu, lagi-lagi saya menemukan banyak istilah pluralisme di dalam buku ini, kurang lebih sekitar 20 kali istilah pluralisme disebutkan, diantaranya ada di halaman 25, 26, 27, 29, 30, 31, 97, 121, 122, 124, 125, 129, 156, 193, 194, 199 dan 214.

Contohnya pada halaman 27:

“”Pluralisme tidak semata menunjukkan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun dibutuhkan keterlibatan aktif terhadap kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat kita jumpai dimana-mana…”.

Juga pada halaman 26 dan 30:

“...pencegahan implikasi negatif pluralisme yang perlu dilakukan, pertama-tama adalah pengembangan adanya sikap arif dalam menerima pluralisme dan memperluas konsep singularisme yang inklusif”. (hlm. 26)

“Sebab, Indonesia, menurut Tarmizi Taher, adalah negara yang pluralistik, dan pluralitasnya adalah unik. Kondisi inilah yang mendorong negara untuk meletakkan dasar-dasar pluralisme dalam konstitusinya (UUD 1945 dan GBHN)”. (hlm. 30)

Mengenai hal ini, saya pernah bertanya tentang arti dari Pluralisme dalam konteks non-teologis pada pak Anis Malik Thoha-pakar perbandingan agama dari International Islamic University of Malaysia, beliau menjelaskan bahwa:

“Secara ringkas dapat dikatakan, pluralisme (baik agama, budaya, politik atau apapun juga) pada intinya adalah "kesetaraan", "kesamaan" dan "ke-tak berbeda-an". Semua "setara" dan "serasa", tak boleh ada yang "paling baik"/"paling berhak", begitu juga sebaliknya”

Lebih lanjut, beliau menjelaskan:

“Hanya saja, kebanyakan dari kita "salah-kaprah" mencampur-adukkan "pluralisme" dengan "pluralitas". Dan yang lebih memprihatinkan lagi mereka menganggap "pluralisme" itu sama dan sebangun dengan ‘toleransi’.”.[2]

Selain itu, Pak Hamid Fahmy Zarkasy juga pernah menuliskan tentang masalah ini:

“Sebenarnya, asal mula makna pluralisme adalah toleransi. Dalam Oxford Advanced Learners’s Dictionary of Current English, terbit tahun 1948, makna itu jelas:
“Pluralisme adalah suatu prinsip bahwa kelompok-kelompok berbeda tersebut dapat hidup bersama dalam kedamaian dalam satu masyarakat.”

Tapi setengah abad kemudian, prinsip tersebut berubah menjadi relativisme: curiga terhadap konsep “kebenaran”. Buktinya bisa dibaca pada Oxford Dictionary of Philosophy, oleh Simon Blackburn, yang terbit pada tahun 1995:

“Pluralisme adalah prinsip bahwa disana tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya”.”[3]

Nah, saya juga tidak menemukan kata “pluralisme” atau “pluralisme agama” di dalam Undang-Undang Dasar 1945, kalau memang kata “pluralisme” atau “pluralisme agama” yang disebut-sebut oleh si penulis bermakna pluralitas atau toleransi beragama. Lalu, jika memang maknanya seperti itu, kenapa The Founding Fathers bangsa ini tidak memasukkan saja kedua kata tersebut ke dalam Undang-Undang Dasar 1945? Atau memang The Founding Fathers bangsa ini terlalu eksklusif dan intoleran sehingga tidak memasukkan kedua kata tersebut?.

Yang saya tak habis pikir, kok begitu beraninya si Ketua II MUI Pondok Aren menjadikan dalil QS. Al-Baqarah: 256 dan QS. Yunus: 99 sebagai justifikasi atas adanya pluralisme dan mengatakan bahwa pluralisme adalah sunnatullah seperti yang pernah dikatakan oleh Nurcholish Madjid sewaktu beliau masih hidup. (hlm. 97-98).

Sementara itu, di bagian lain, si penulis juga menuliskan tentang masalah Ahlul Kitab:

“Karena itu, tidak mengherankan jika terdapat argumen bahwa ahli kitab yakni mereka yang menerima kitab suci dari Tuhan, tidak terbatas pada penganut Judaisme dan Kristen. Nurcholish Madjid berpendapat, bahwa di luar kaum Yahudi dan Nashrani juga terdapat ahli kitab. Ia tidak hanya memasukkan penganut agama Majusi (Zoroaster), Shabi’in ke dalam golongan ahli kitab, tetapi juga pengikut Hindu, Buddha dan Konfusianisme. Dalam bukunya yang lain, Nurcholish Madjid mengutip Abd al-Hamid Halim, bahwa Hindu, Buddha, dan agama-agama Cina dan Jepang juga termasuk agama ahli kitab, karena dalam pandangannya, agama-agama tersebut bermula dari dasar ajaran Tauhid”. (hlm. 100)

Ada beberapa pertanyaan yang mengusik hati saya saat membaca tentang masalah Ahlul Kitab ini, Kategori apa saja yang menjadikan mereka sebagai Ahlul Kitab? Apakah konteks Ahlul Kitab terhadap Yahudi dan Nashrani masih berlaku sampai sekarang? Apakah orang-orang Yahudi yang telah membunuh banyak manusia Palestina bisa disebut sebagai Ahlul Kitab? Apakah mereka yang menolak untuk mengimani Allah swt. Dan Rasul-Nya Nabi Muhammad saw. juga bisa disebut sebagai Ahlul Kitab? Dan atas dasar apa Abd al-Hamid Halim yang dikutip oleh Cak Nur menyebut agama Majusi, Hindu, Buddha, agama-agama Cina dan Jepang sebagai agama yang bermula dari dasar ajaran Tauhid?.

Si penulis tidak memberikan penjelasan lebih jauh mengenai masalah Ahlul Kitab apalagi si penulis memasukkannya ke dalam thesisnya-yang berarti si penulis bisa lebih jauh lagi menjelaskan masalah ini, terutama bagi mereka yang masih awam tentang masalah Ahlul Kitab.

Saat sedang mencari bahan skripsi di situs INSISTS, saya menemukan sebuah tulisan menarik tentang masalah Ahlul Kitab, tulisan ini ditulis oleh Ahmad Alim:

“Istilah Ahlul Kitab berasal dari dua kata bahasa Arab yang tersusun dalam bentuk Idhafah yaitu ahlu dan Al-kitab. Ahlu berarti pemilik , ahli, sedangkan Al- kitab berarti kitab suci. Jadi, Ahlul Kitab berarti, “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah).

Dalam hal ini Imam Syafi’i (w. 204 H) menegaskan bahwa yang dimaksud Ahlul Kitab hanya terbatas pada dua golongan saja, yaitu golongan Yahudi dan Nasrani dari Bani Israel. Sedangkan diluar Bani Israel, sekalipun beragama Yahudi atau Nasrani, menurut Imam Syafi’i, tidak termasuk Ahlul Kitab.

Imam Syafi’i berargumen bahwa Nabi Musa a.s dan Isa a.s hanya diutus untuk kaumnya, yaitu Bani Israel (hal ini menunjukkan bahwa objek seruan Nabi Musa a.s dan Nabi Isa a.s yang diutus hanya Bani Israel). (Tafsir Imam Syafi’i , vol. II,hlm. 56)

Adapun agama Majusi (Zoroaster), menurut Imam Syafi’i tidak termasuk dalam kategori Ahlu kitab (Al-Umm : Vol.V, hlm. 405). Hal itu karena Majusi tidak diturunkan kepadanya Kitab, dan juga tidak mengikuti salah satu dari agama Yahudi maupun Nasrani. Dengan demikian, kaum Muslim tidak dihalalkan menikmati makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan tidak dapat pula mengawini wanita-wanita mereka, walaupun dalam masalah membayar jizyah (pajak), keudukan Majusi dan Ahlul Kitab dianggap sama.

Ini disebabkan adanya pengecualian secara khusus, sebagaimana terdapat dalam hadist Nabi saw yang diriwayatkan oleh imam Syafi’i, bahwa suatu ketika ditanyakan kepada Umar r.a. tentang perlakuan terhadap Majusi dalam masalah jizyah, Umar pun terdiam (tawaquf), sampai datang kepadanya Abdurrahman bin Auf, seraya bersaksi, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : “Perlakukanlah mereka (kaum Majusi) sama dengan perlakuan terhadap Ahl Al-Kitab.” Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi: “tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak juga mengawini wanita mereka.” Hal ini juga dikuatkan oleh guru Imam Syafi’i yaitu Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, hadis ke-42.

Jadi, tegas Imam Syafi’i. dapat disimpulkan bahwa Ahlul Kitab hanya terbatas pada kedua golongan saja yaitu Yahudi dan Nasrani, sementara Majusi (Zoroaster) tidak termasuk di dalamnya. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah: “(Kami turunkan Al-Qur’an ini) agar kamu (tidak) mengatakan bahwa, ‘Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami. dan sesungguhnya kami tidak. Wallahu a’lam”.[4]

Lalu kalau memang umat Yahudi dan Nashrani yang sekarang termasuk dalam kategori Ahlul Kitab seperti yang dikutip oleh penulis dari Nurcholish Madjid, kenapa Allah harus menurunkan QS. Ali ‘Imran: 85?.

Terkait dengan masalah Shabi’in, saya mendapatkannya dari Tafsir Ibnu Katsir pada saat menjelaskan tentang QS Al-Baqarah: 62 :

“Adapun tentang Shabi-un, para ulama berbeda pendapat. Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Laits bin Abi Salim, dari Mujahid, ia mengatakan, “Shabi-un adalah suatu kaum antara kaum Majusi, serta Yahudi serta Nashrani dan mereka tidak mempunyai agama”.

“Hal senada juga diriwayatkan dari ‘Atha’ dan Sa’id bin Jubair. Ada yang mengatakan, mereka adalah kelompok dari Ahli Kitab yang membaca Zabur. Ada pula yang mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang menyembah malaikat. Dan ada yang mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang menyembah bintang-bintang. Adapun pendapat yang lebih jelas-wallahu’alam-adalah pendapat Mujahid dan orang-orang yang megnikutinya serta Wahb bin Munabbih, bahwa mereka adalah suatu kaum yang tidak memeluk agama Yahudi, tidak juga Nasrani, ataupun Majusi dan tidak pula musyrik. Tetapi mereka adalah kaum yang masih berada di atas fitrah dan tidak ada agama tertentu yang dianut dan dipeluknya. Oleh sebab itu, orang-orang musyrik mengejek orang yang berserah diri dengan sebutan Shabi-i. artinya, ia berada di luar semua agama yang ada di muka bumi ketika itu. Dan sebagian ulama lainnya mengatakan, “Shabi-un” adalah orang-orang yang tidak sampai kepada mereka dakwah Nabi. Wallahu a’lam.”[5]


Selain itu, Saya juga semakin dibingungkan dengan adanya filsafat perennial di dalam buku tersebut, kira-kira isinya seperti ini:

“Dalam pandangan perennial, substansi adalah primer sedangkan bahasa adalah sekunder. Oleh karenanya, dalam kasus yang terjadi di kalangan kaum Muslim misalnya, banyak orang mengekspresikan pesan tauhid tetapi yang bersangkutan tidak mengetahui bahasa Arab. Dalam pandangan Islam, konsep tauhid bukan hanya terletak pada pengakuan adanya Tuhan yang Esa. Tetapi yang lebih pokok adalah penerimaan dan respon cinta kasih dan kehendak Tuhan yang dialamtkan kepada manusia. Oleh karenanya, dalam pandangan Islam, orang-orang suci terdahulu semisal Phytagoras dan Plato adalah termasuk orang-orang yang bertauhid (muwahhidun) karena telah mengekspresikan kebenaran yang menjadi hati pada semua agama. Mereka, orang-orang suci terdahulu tersebut termasuk dalam keuniversalan Islam dan tidak dikategorikan sebagai di luar Islam.” (hlm. 102-103)

“Inilah perspektif filsafat perennial, yang memandang bahwa Kebenaran Mutlak (the Truth) hanyalah satu, tidak terbagi. Tetapi dari Yang Satu ini memancar berbagai “kebenaran” (truths) sebagaimana matahari memancarkan cahayanya, tetapi spektrum kilatan cahayanya ditangkap oleh mata manusia dalam kesan yang beraneka warna.” (hlm. 103)

Nah, apakah di dalam Islam memang ada yang namanya filsafat perennial? Lalu, kalau memang ada, kenapa harus ada Tauhid? Apa gunanya tauhid jika Filsafat Perennial itu ada? .

Saya mendapatkan pengertian mengenai filsafat perennial atau yang disebut sebagai al-Hikmah al-Khalidah ini saat mengikuti kajian di sekretariat INSISTS oleh Dr. Dinar Dewi Kania sekitar awal April lalu:

“Filsafat Perennial yaitu filsafat yang mengajarkan bahwa kebenaran wahyu itu relatif sedangkan kebenaran metafisis itu bersifat absolut, pada level exoteric (lahir) setiap ajaran atau ritual agama boleh berbeda/tidak sama tetapi pada level esoteric (batin) semua agama sama kebenarannya. Bagi penganut Filsafat Perennial, orang yang sudah menyerahkan dirinya secara total bisa disebut sebagai ‘Muslim’, dengan kata lain, bagi para penganut Hindu dan Buddha juga bisa disebut sebagai Muslim apabila dia sudah menyerahkan dirinya secara total (submission)”.

Dalam bukunya yang berjudul “Tren Pluralisme Agama”, Dr. Anis Malik Thoha menyebutkan:

“Namun perlu dicatat bahwa dikenalnya ’Perennial Philosophy’ sebagai mazhab filsafat dan mistisisme serta sebagai worldview adalah berkat usaha keras ketiga tokoh pionirnya yang disebut-sebut oleh Seyyed Hossen Nasr sebagai ‘The Masters’ (para Guru), yakni Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy dan Frithjof Schuon. Hanya saja yang menginterpretasi filsafat ini, mensyarahkan serta mengenmbangkannya hingga mendapat pengakuan ilmiah yang sejajar dan setaraf dengan filsafat-filsafat modern lain adalah Seyyed Hossen Nasr dalam buku magnum opusnya yang berjudul Knowledge and the Sacred. Isi buku itu semula merupakan serangkaian kuliah yang dikenal Gifford Lectures yang ia sampaikan di Universitas Edinburgh pada tahun 1981.”[6]

Selain itu, mengenai latar belakang terhadap filsafat perennial yang pertama kali dilontarkan oleh Leibniz juga disebutkan:

“Hikmah Abadi pada dasarnya muncul sebagai dasar akibat langsung dari sikap permusuhan dan kebencian akal modern ‘yang tercerahkan’ terhadap segala sesuatu yang sakral, serta kegagahannya memahami hakikat ‘Kebenaran’ (the Truth) dan ‘Hakikat’ (the Reality), termasuk hakikat pluralitas agama, dengn pemahaman yang tepat, benar dan integral.”[7]

Jika dibaca secara sepintas, gagasan Hikmah Abadi/Filsafat Perennial ini memang terlihat ideal dan solutif untuk merukunkan umat beragama. Tapi, tidak demikian halnya dengan kenyataan di lapangan, baik secara akademis maupun secara empirik.

Banyak cendekiawan seperti William C. Chittick dan Dr. Adnan Aslan yang sudah mengkritik gagasan “Hikmah Abadi” ini. Dr. Anis Malik Thoha pun menyimpulkan, bahwa gagasan ‘Filsafat Perennial’ akhirnya berujung pada paham kesetaraan agama-agama. Gagasan ini bukan saja semakin menjauh dari Islam, tetapi juga semakin menjauh dari cita-cita yang ditujunya. Oleh karena itu, gagasan ini lebih merupakan problem daripada menjadi solusi bagai keragfaman agama. Oleh karena itu, wajar, jika kita bertanya, mengapa ide semacam ini masih ditawarkan kepada umat Islam?.[8]


Lagipula, saya juga tidak setuju jika Plato dan Phytagoras dikatakan sebagai orang-orang yang bertauhid (muwahhidun) hanya karena mereka telah mengekspresikan kebenaran yang menjadi hati pada semua agama. Makna Tauhid sendiri adalah mengakui bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa dan tidak ada Tuhan yang setara dengan-Nya, sebagaimana yang pernah difirmankan oleh Allah sendiri dalam QS. Al-Ikhlas:1, QS. Al-Baqarah: 163 dan QS. Ali-‘Imran: 18.[9]

Nah, apakah Plato dan Phytagoras benar-benar mengakui secara sepenuhnya bahwa Allah adalah Tuhan yang Esa dan tidak ada Tuhan yang setara dengan-Nya? Kalau memang ya, kenapa mereka harus mengekspresikan kebenaran yang menjadi hati pada semua agama?.





--------------------Berasambung ke Bagian II----------------------------------







Footnote:

[1] Untuk definisi Ekstremisme sebagaimana yang pernah dikatakan oleh KH. Hasyim Muzadyi—ahli yang dihadirkan pada sidang UU Penodaan agama di MK lalu–di dalam putusan MK tentang Uji Materi UU Penodaan Agama halaman 122.
Jusuf Kalla seperti dilansir dari news.okezone.com mengatakan bahwa konflik yang terjadi di Ambon dan Poso bukan karena agama tetapi persoalan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dari masing-masing kelompok agama lah yang menjadi pemicu konflik. Lihat http://news.okezone.com/read/2008/05/07/1/107131/1/jk-agama-bukan-penyebab-konflik-poso-ambon. Lihat juga penelitian yang dibuat oleh Rusmin Tumanggor, dkk. berjudul Dinamika Konflik Etnis dan Agama, http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/PDF/rusmin.pdf.

[2] Pendapat Anis Malik Thoha via Facebook penulis pada tanggal 05 Mei 2011.

[3] Hamid Fahmy Zarkasy, Kontradiksi, 20 April 2011, http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=242%3Akontradiksi&catid=2%3Ahamid-fahmy-zarkasyi.

[4] Ahmad Alim, Ahlul Kitab Menurut Imam Syafi'I,, 24 Maret 2011, http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=234%3Aahlul-kitab-menurut-imam-syafii&catid=28%3Aahlul-kitab&Itemid=29.

[5] Shahih Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, team ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurahman al-Mubarakfuri, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, 2006, hlm. 280-281. Lihat juga Tafsir ath-Thabary Juz II hlm 146.

[6] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Penerbit Perspektif, Jakarta, 2005, hlm. 109-110.

[7] Anis Malik Thoha, Ibid., hlm. 113.

[8] Abu Fatiah al-Adnani, Kaki Tangan Dajjal Mencengkeram Indonesia, Granada Mediatama, Solo, 2007m hlm. 37&38. Dikutip dari Catatan Akhir Pekan Adian Husaini dari situs www.islamlib.com

[9] Penjelasan lebih lanjut mengenai makna Tauhid lihat: http://www.ashtech.com.my/DIL/start/artikel/Makna_Tauhid.htm dan http://abi-muadz.abatasa.com/post/detail/3624/makna-tauhid. Lihat juga tentang Tauhid pada buku Tren Pluralisme Agama-Dr. Anis Malik Thoha

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -