Posted by : Sarah Larasati Mantovani Sunday 6 February 2011

“3 Jema’at Ahmadiyah tewas setelah bentrok dengan warga Cikeusik, Pandeglang, Banten” (TvOne, 06/02/2011)


Kira-kira seperti itulah berita yang saya lihat pada Minggu sore di sebuah stasiun televisi swasta. Tetapi saya tidak akan membahas masalah tewasnya 3 jema’at Ahmadiyah tersebut, melainkan masalah kebebasan berkeyakinan yang sempat di sebut-sebut oleh Arif Rahman-salah satu saksi yang juga merupakan anggota jema’at Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, saat di wawancarai oleh TvOne.


“saya hanya meminta hak saya, hak untuk kebebasan berkeyakinan”.

Amat sangat wajar jika anggota jema’at Ahmadiyah meminta hak kebebasan berkeyakinannya, tetapi hak kebebasan berkeyakinan tersebut akan menjadi lain apabila mereka sudah berhadapan dengan umat Islam secara langsung, yaitu pada saat mereka sudah memasuki forum externum (dengan mengekspresikan cara beribadah ataupun menyebarkan ajaran mereka). Umat Islam pun tahu jika Ahmadiyah telah menodai ajaran yang sangat krusial bagi umat Islam, yaitu mempercayai adanya nabi terakhir selain nabi Muhammad saw dan Ahmadiyah akan mengkafirkan mereka yang tidak mempercayai nabi terakhirnya-Mirza Ghulam Ahmad. Hal inilah yang sebenarnya menjadi konflik paling mendasar di antara kedua belah pihak. Umat Islam tak mau ajarannya dinodai dan tak mau dibilang kafir sementara jema’at Ahmadiyah tetap bertahan bahwa mereka masih bagian dari Islam.

Kebebasan beragama dan berkeyakinan memang sudah dijamin dalam konstitusi kita, hal ini bisa kita lihat pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (2), yang menyatakan :

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”

Pasal 28 E ayat (1) dan (2) :

(1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…”
(2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”
.

Juga terdapat di dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia :

(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaanya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.


Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah pasal-pasal di atas mengizinkan adanya aliran-aliran atau kepercayaan-kepercayaan di luar agama yang di anut oleh bangsa Indonesia untuk menyebarkan kepercayaan/alirannya meskipun itu harus mengganggu ketentraman umat beragama lain yang merasa terusik dengan adanya kepercayaan/alirannya tersebut?, dan apakah atas nama kebebasan beragama dan berkeyakinan pula, seseorang/kelompok tertentu diperbolehkan untuk menyebarkan ajarannya/apa yang diyakininya dengan menggunakan dalil empat pasal di atas?.

Sebelum menafsirkan kebebasan berkeyakinan lebih lanjut, kita akan ketahui lebih dulu, dari sudut pandang apa kebebasan berkeyakinan tersebut ditafsirkan? Apakah dari sudut pandang Islam ataukah dari sudut pandang Barat/Liberal?.

Mengenai hal ini, saya akan menafsirkan kebebasan berkeyakinan dari sudut pandang Islam, sama seperti saat tokoh-tokoh perumus Pancasila menafsirkan sila pertama dari Pancasila dulu.

Menurut pandangan saya, kebebasan berkeyakinan saya tafsirkan sebagai kebebasan untuk bebas meyakini sesuatu yang kita percayai menurut hati nurani. Kenapa harus dengan hati nurani? Karena pada dasarnya manusia itu adalah ‘fitrah’ dan dalam tahap tertentu manusia mampu mengenal kebenaran, tentunya kebenaran yang sesuai Islam.

Mengenai makna kebebasan, Syamsuddin Arif mengatakan dalam artikelnya “Tiga makna kebebasan dalam Islam” :

“Pertama, identik dengan ‘fitrah’ –yaitu tabiat dan kodrat asal manusia sebelum diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan disekelilingnya. Maka orang yang bebas ialah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya, karena pada dasarnya ruh setiap manusia telah bersaksi bahwa Allah itu Tuhannya. Sebaliknya, orang yang menyalahi fitrah dirinya sebagai abdi Allah sesungguhnya tidak bebas, karena ia hidup dalam penjara nafsu dan belenggu syaitan.

Kedua, kemampuan (istitha‘ah) dan kehendak (masyi’ah) atau keinginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita untuk memilih jalan hidup masing-masing. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 29 “Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) maka hendaklah dia beriman, dan barangsiapa (menghendaki) kafir, biarlah dia kafir”.
Kebebasan disini melambangkan kehendak, kemauan dan keinginan diri sendiri. Bebasnya manusia berarti terpulang kepadanya mau senang di dunia ataukah di akhirat. Dan benarlah firman Allah bahwa tidak ada paksaan dalam agama – ‘la ikraha fiddin’ (2:256). Setiap manusia dijamin kebebasannya untuk menyerah ataupun membangkang kepada Allah, berislam ataupun kafir.

Ketiga, kebebasan dalam Islam berarti ‘memilih yang baik’ (ikhtiyar). Sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Naquib al-Attas, sesuai dengan akar katanya, ikhtiar menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya”
[1]

Jadi, dalam pandangan Islam, seseorang tetap tidak diperkenankan untuk memilih jalan yang buruk meski Allah telah memberikan kepada kita untuk memilih jalan hidup masing-masing. Apakah jalan para nabi dan orang-orang sholeh, ataukah jalan syaitan dan orang-orang sesat (QS. al-Kahfi: 29). Orang yang memilih keburukan, kejahatan, dan kekafiran itu sesungguhnya telah menyalahgunakan kebebasannya. Sebab, pilihannya bukanlah sesuatu yang baik. [2]

Menurut KOMNAS HAM, kebebasan beragama dibagi menjadi dua aspek:

“Yang pertama adalah, aspek kebebasan internal atau disebut dengan forum internum, dan yang kedua adalah aspek kebebasan eksternal atau disebut forum eksternum. Apa yang dimaksud kebebasan internum? Itu adalah kebebasan individual yang dimiliki oleh setiap orang untuk meyakini, atau berpikir, atau memilih agama yang diyakininya, meyakini doktrin-doktrin keagamaan yang menurut dia benar. Dan forum internum tidak bisa diintervensi oleh negara. Sedangkan forum eksternal atau kebebasan eksternal, yang dimaksud dengan itu adalah kebebasan seseorang untuk mengekspresikan atau memanifestasikan agama yang diyakininya itu melalui dakwah, melalui pendidikan, dan melalui sarana-sarana yang lain. Dan kebebasan ini juga harus dijamin untuk setiap orang pemeluk agama bebas menyampaikan misi agamanya, mendakwahkannya, mewariskannya kepada anak-cucunya, dan sebagainya. Itu harus dijamin oleh setiap Negara”. [3].

Lebih lanjut KOMNAS HAM memberikan keterangannya mengenai pembatasan yang di perkenankan untuk kebebasan beragama :

“Kebebasan juga dikenakan pembatasan. Walaupun kualitas dari hak ini berstatus sangat tinggi karena bersifat non derogable, tetapi terhadap kebebasan ini juga diterapkan pembatasan-pembatasan. Tetapi, pembatasannya ditujukan terutama kepada kebebasan yang bersifat eksternal, yaitu dalam konteks menyebarluaskan ajaran agama itu, mewariskannya, mendakwahkannya, dan seterusnya seperti itu. Pembatasan yang diperkenankan untuk kebebasan, yang pertama adalah pembatasan dari sudut keamanan masyarakat. Yang kedua adalah ketertiban masyarakat atau public order. Yang ketiga adalah kesehatan atau moralitas masyarakat. Dan yang ketiga adalah hak dan kebebasan orang lain. Inilah alat ukur untuk membatasi kebebasan beragama itu, khususnya kebebasan dalam lingkup kebebasan eksternal. Tetapi pembatasan-pembatasan harus dinyatakan oleh hukum, bukan didasarkan oleh kesepakatan atau apa pun, tetapi harus dinyatakan melalui hukum.” [4]

Sebagaimana tercantum dalam pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang secara jelas menyatakan bahwa:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Karena meskipun Ahmadiyah ada hak berkeyakinan dalam ranah fórum internum, Ahmadiyah tetap harus wajib tunduk pada pembatasan yang telah di tetapkan oleh Undang-Undang sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis sebagaimana tercantum dalam pasal 28 J di atas.

“Manusia tidak bisa menilai agama itu baik/benar, yang bisa menilai agama itu baik/benar hanya Allah saja”.

Statement jema’at Ahmadiyah yang satu ini menggelitik sekaligus menggemaskan hati saya, kenapa? Karena saya pikir, jika yang bisa menilai suatu agama itu baik/benar hanya Allah saja dan manusia tidak bisa menilai, lalu untuk apa Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai Al-Furqon (sebagai pembeda antara yang baik dengan yang buruk)? Bukankah itu semua hanya akan menjadi sia-sia?.

Jika kita mau telusuri lebih dalam mengenai statement jema’at Ahmadiyah ini, saya jadi teringat dengan paham relativisme kebenaran yang waktu itu pernah ditulis oleh Adian Husaini :

“Gagasan negara yang netral agama–dengan berbasis kepada relativisme tafsir dan relativisme kebenaran–pada hakekatnya juga sebuah ide yang sangat naif” [5]

Doktrin relativisme ini mengajarkan bahwa di sana tidak ada lagi nilai yang memiliki kelebihan dari nilai yang lain. Agama tidak berhak mengklaim mempunyai kebenaran absolut, ia hanya dipahami sama dengan persepsi manusia yang relative itu. [6] Dari paham ini lahirlah sikap skeptis dan agnostik yang senantiasa ragu dengan kebenaran yang dicapainya. Jika seseorang sudah kehilangan keyakinan dalam hidupnya, maka hidupnya akan terus diombang-ambingkan dengan berbagai ketidakpastian. [7]

Kalaulah manusia tidak bisa atau tidak berhak menilai suatu agama itu baik/benar, untuk apa ada akal? Bukankah Allah menganugerahi kita akal untuk membedakan antara kita dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya-misal hewan? Kita tahu, hewan tak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk karena mereka tak diberikan akal.

Mengenai masalah nabi terakhir sendiri, sebenarnya tak hanya tercantum dalam Al-Qur’an (QS 33:40) saja tapi juga tercantum dalam Injil Barnabas (The Gospel of Barnabas)-yang merupakan salah satu injil terlarang untuk di baca oleh umat Kristen. Salah satunya adalah yang tercantum dalam pasal 97 dan pasal 163 :

“…Kemudian berkata pejabat agama itu, ‘Bagaimana akan disebut Messiah itu dan pertanda apakah akan membuka rahasia kedatangannya?’, Yesus menjawab, ‘Nama dari Messiah itu adalah ‘Terpuji’(admirable), karena Allah sendiri memberinya nama itu, ketika dia telah menciptakan rohnya, dan menempatkannya dalam sebuah kemuliaan surgawi (in a celestial splendour). Allah bersabda, ‘Tunggulah Muhammad, karena demi engkau, Aku berkehendak untuk menciptakan surga, dunia itu, dan sejumlah besar makhluk, tentangan itu Aku jadikan suatu hadiah kepadamu, akhirnya bahwa siapa pun akan senang kepada engkau akan diberkati, dan siapa saja akan mengutuki engkau, akan dilaknat’…”
(pasal 97, hlm. 130).

“…Para pengikut menjawab, ‘O Guru, siapakah gerangan orang itu yang engkau katakan, dia akan datang ke dalam dunia ini?’. Yesus menjawab dengan kegirangan hati, ‘Dia adalah Muhammad, pesuruh Allah, dan ketika dia mendatang ke dalam dunia ini, genap bagaikan hujan membuat bumi memekarkan buah apabila untuk waktu yang lama hari tak hujan, bahkan demikianlah dia akan menyebabkan terwujudnya amal-amal baik di kalangan para manusia, melalui rahmat berlimpah ruah yang akan dibawanya. Karena dia adalah suatu awan putih penuh dengan rahmat Allah, yang mana rahmat belas kasih itu, Allah akan menyiramkan laksana hujan kepada orang-orang beriman”. (Pasal 63 hlm. 222) [8]

Tentunya, nama ‘Muhammad’ yang tertulis secara jelas dalam Injil Barnabas ini bukan Mirza Ghulam Ahmad melainkan Muhammad bin Abdullah yang memang dari sejak nabi Muhammad belum ada sudah diberitakan oleh nabi-nabi terdahulu bahwa beliau saw adalah penutup para nabi.

Terakhir, jika Ahmadiyah ingin segera keluar dari konflik yang berkepanjangan dengan umat Islam, buatlah agama baru dan tak usah mengakui bahwa mereka adalah bagian dari Islam! Dan pemerintah juga harus bertindak tegas dengan aliran-aliran sesat yang ada, sehingga segala kekerasan yang terjadi dan peristiwa tewasnya tiga jema’at Ahmadiyah tidak akan terjadi lagi.
Wallahu’alam







Footnote:
[1] dikutip dari situs www.sabili.co.id, Tulisan yang sama juga bisa dilihat pada buku yang di tulis oleh Hamid Fahmy Zarkasy, et. al., “Islam versus Liberalisme: Menjawab gugatan terhadap UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Penodaan Agama”, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 57-58.
[2] Hamid Fahmy Zarkasy, et. al., “Islam versus Liberalisme: Menjawab gugatan terhadap UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Penodaan Agama”, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 58-61.
[3] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Uji Materi Undang-Undang Penodaan Agama hlm. 180-181. putusan ini bisa di download di situs Mahkamah Konstitusi: www.mahkamahkonstitusi.go.id.



[4] Ibid.
[5] Adian Husaini, “Relativisme dan Penodaan Agama”, Maret 2010, http://www.insistnet.com. Lihat juga tulisan Adian Husaini, “Wabah paham Relativitas Kebenaran”, Desember 2005, dikutip dari www.adianhusaini.com.
[6] Dikutip dari blog http://www.ruangmerindukandiadandia.wordpress.com, “Sejarah dan Berkembangnya Teori Pluralisme Agama”, tanpa tahun.
[7] Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia, http://www.insistnet.com, hlm. 14.
[8] “The Gospel of Barnabas: Terjemah Injil Barnabas”, diterjemahkan oleh Rahnip, PT Bina Ilmu Offset, Surabaya, 1983.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -