- Back to Home »
- Islamic Thought »
- Kebebasan Berbicara ataukah Pelecehan Agama?
Posted by : Sarah Larasati Mantovani
Thursday, 10 May 2012
Gambar : islamtimes.org |
Hal
ini terlihat dari pernyataan Gunawan Muhammad saat diwawancarai oleh salah satu
Jurnalis Hidayatullah, Menurut
Gunawan, banyak orang kehilangan hak untuk berbicara, hak untuk
mendengarkan orang dan hak untuk berkumpul yang tidak dilindungi oleh polisi
yang seharusnya melindungi hak asasi manusia di Indonesia.
“Menurut saya biasa saja, karena ini cuma kegiatan peluncuran
buku. Seharusnya kalau mau dilarang dilihat dulu apa yang dibicarakan. Bahwa
kita tidak setuju dengan Irshad ya biasa saja, sebetulnya perdebatan itu hal
biasa, kan sejarah pemikiran Islam perdebatan itu sudah ada sejak abad ke-7 dan
perbedaan pendapat itu adalah rahmat. Tapi dalam hal berbicara, kita belum
mendengar apa yang dia omongkan, jangan jangan ada yang menarik?,” jelas
Gunawan. (lihat : Goenawan dan Ulil
Kecewa Pembubaran Acara Irshad Manji, hidayatullah.com, 05/05).
Bahkan
seorang feminis liberal yang dilabeli sebagai Mujtahidah seperti Irshad Manji
pun ikut-ikutan tidak menghormati hukum-hukum yang berada di Indonesia.
Feminis
satu ini tetap kekeuh meneruskan aksinya memberikan kuliah umum di Solo pada
Selasa (08/05) dan Yogyakarta pada Rabu (09/05) meski ditentang oleh Umat Islam
setempat.
Salah satu admin Tolak Irshad Manji mengungkapkan melalui FB
fanspage, “@dina_ardiyanti dalam akun twitternya mengaku jadi moderator dalam
diskusi Irshad Manji bersama Jejer Wadon di Solo pada Selasa malam, (08/05).
Tampaknya Manji dan pihak yang mengundangnya lolos dari pantauan dan berhasil
mengadakan acara di kota tersebut”, jelasnya. (lihat FB
fanspage “Satu Juta Umat Islam Menolak
Irshad Manji Datang ke Indonesia”).
Bukan
hanya itu, kebebasan berbicara yang selalu di usung oleh Irshad Manji sendiri
ditolaknya saat ada warga yang mengajaknya berdialog secara persuasif, seperti
yang ia ungkapkan pada peserta yang hadir, “Saya
tidak percaya bahwa dialog kita dengan mereka akan merubah cara berpikir
mereka. Pikiran mereka telah tercipta seperti itu, pikiran mereka telah
terdogma untuk tidak berubah,” bantahnya. (Warga
Protes Diskusi Irshad Manji di Salihara, hidayatullah.com, 05/05).
Sebagaimana aktivis Liberal lainnya, mereka tetap menutup
pintu dialog, meski pada saat yang sama Ulil mengatakan membuka pintu dialog
dengan warga setempat.
Namun, yang patut dipertanyakan adalah, benarkah kebebasan
berbicara yang selalu diusung oleh aktivis JIL dan simpatisannya tidak
bertentangan dengan hukum Indonesia, terutama Undang-Undang Dasar 1945? Apakah
Undang-Undang Dasar 1945 benar-benar menjamin kebebasan berbicara yang sebebas-bebasnya
tanpa mengenal batas dan meskipun hal tersebut bisa melecehkan agama lain
terutama agama Islam? Kemudian apa kata Undang-Undang Dasar mengenai kebebasan
berbicara ini?.
Kebebasan
Berbicara, Versi Siapa?
Memang, dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28E ayat (2) dan
(3) tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa,
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”;
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat”.
Selain itu, hak untuk kebebasan berbicara ini juga diatur
dalam pasal lain yaitu pasal 28F :
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Namun, bagaimana jika contoh kebebasan berbicara yang
dimaksud adalah seperti yang pernah dikatakan oleh Irshad Manji dan aktivis JIL
Saidiman Ahmad berikut ini:
Gambar : voaindonesia.com |
“Aku tahu: Pencipta seperti apa yang cemburu terhadap anak
Sapi? Itulah Pencipta yang terus berjuang keras mempersatukan suku-suku yang
saling berperang melalui iman yang sama” (Irshad Manji, Beriman Tanpa Rasa Takut, Nun Publisher, hlm. 86).
Atau Saidiman Ahmad dalam akun twitternya :
“Percayakah kamu pada hari Kiamat? Emang doski pernah janji
apa?”. (di posting pada tanggal 04 Maret 2012).
Lalu, apakah Undang-Undang Dasar 1945 memang menjamin
kebebasan berbicara yang demikian?.
Undang-Undang Dasar 1945 memang sudah mengatur sedemikian
rupa mengenai hak ini tetapi yang selalu menjadi masalah adalah, kita selalu
memahami sesuatu secara sepotong-sepotong, tidak utuh atau bahkan men-generalisasi
apa yang kita pahami bahwa hal tersebut sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar,
termasuk dijamin oleh Allah sendiri.
Padahal, jika kita mau membaca lebih dalam dan meneliti
kembali seluruh pasal-pasal tentang HAM secara utuh, maka kita akan dapati bahwa
benar UUD 1945 menjamin hak untuk berpendapat, untuk berbicara, untuk
menyampaikan informasi, tetapi UUD 1945 tidak pernah menjamin hak untuk
berbicara yang bertentangan dengan moral dan nila-nilai agama.
Sebagaimana yang ada dalam Pasal 28J ayat (1):
“Setiap orang
wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
Ayat (2) : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan
maksud semata-mata menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”.
Mengenai hal ini, kebebasan pers yang termasuk di dalamnya
kebebasan berbicara, kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan menyampaikan
informasi, Ir. Pataniari, mantan anggota DPR periode 2004-2009, dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-VI/2008 tentang Sanksi oleh KPI atau Dewan Pers
dan Kebebasan Berekspresi pernah memberikan keterangan sebagai berikut:
“Kebebasan pers tidak semata-mata bebas tanpa batas, hal ini
terkait dengan hak asasi manusia yang juga dapat dibatasi dengan
Undang-Undang”.
Oleh karena itu, kebebasan berbicara maupun kebebasan
berpendapat seharusnya tidak melecehkan nilai-nilai agama dan ajaran yang
diyakini kaum beragama, kebebasan berbicara semestinya tidak mencederai
keyakinan orang lain dan kebebasan berbicara hendaknya juga memuat penghormatan
dan penghargaan atas hak orang lain.
Kemudian, tidak sepantasnya Irshad Manji seenaknya masuk ke
Indonesia tanpa menghargai nilai-nilai agama dan moral yang dianut oleh
orang-orang yang beragama di Indonesia dan sepertinya terlalu naif jika
memandang diskusi buku Irshad Manji hanya sekedar diskusi biasa tanpa ada
muatan nilai apapun di dalamnya.
Namun, kalau pada akhirnya aktivis Liberal itu masih saja
tetap kekeuh mendatangkan Irshad Manji lagi untuk kesekian kalinya demi
kebebasan berbicara, maka pertanyaan selanjutnya adalah, demi kebebasan
berbicara atau kah karena ingin ada pelecehan agama?.
Saya setuju banget, Uni. Kebebasan ga selamanya bebas karena pasti ada aturan yang mengikat. Dan kebebasan semu yang diagungkan oleh orang Liberal itu kayaknya ga cocok dikatakan kebebasan. Kalo "bebas", ya harus konsisten. Harus berani bertukar pikiran. Siapa tau kebebasan yang orang Liberal anggap itu adalah kebebasan yang merugikan.
ReplyDeleteNice post Uni. jadi ingat ada majalah Islam nasional yang membahas tentang Irshad Manji.