- Back to Home »
- Feature »
- Mendadak Bodoh (Gara-gara Spot News)
Posted by : Sarah Larasati Mantovani
Sunday, 29 April 2012
Mendadak bodoh. Gambar : karbounjournal.org |
(SLM)
Sekitar awal Februari lalu, saya ditugaskan oleh Koordinator Liputan saya, Surya Fachrizal di Hidayatullah melalui Ibnu Syafaat untuk mengikuti kajian Tematik di Aula Rumah Dinas DPR-RI.
Saat ditugaskan, ia dan Ibnu Syafaat, Jurnalis Hidayatullah lain, sempat menitipkan sejumlah pertanyaan untuk dibuatkan berita. "Bikin dalam bentuk spot news", perintahnya pada saya waktu itu. Lalu, saya yang masih harus banyak belajar dalam Jurnalistik langsung mendadak tidak mengerti dengan apa yang diperintahkan oleh Jurnalis lulusan IISIP Depok ini.
"Hah? Spot news? Apaan tuh?", pikir saya.
Setelah itu saya langsung bertanya pada beliau via sms,
"Bang, Spot news tu apaan?"
"Spot news itu berita pendek, biasanya ditulis dalam 4 sampai 6 paragraf", jawabnya.
Tidak puas dengan jawaban darinya, akhirnya saya memutuskan untuk browsing jenis berita Spot news dari Google. Hasilnya? Sama saja, saya masih bingung juga.
Karena dikejar oleh deadline itulah akhirnya saya membuat berita secara serampangan, kira-kira seperti ini :
"Hah? Spot news? Apaan tuh?", pikir saya.
Setelah itu saya langsung bertanya pada beliau via sms,
"Bang, Spot news tu apaan?"
"Spot news itu berita pendek, biasanya ditulis dalam 4 sampai 6 paragraf", jawabnya.
Tidak puas dengan jawaban darinya, akhirnya saya memutuskan untuk browsing jenis berita Spot news dari Google. Hasilnya? Sama saja, saya masih bingung juga.
Karena dikejar oleh deadline itulah akhirnya saya membuat berita secara serampangan, kira-kira seperti ini :
Diskusi Kesetaraan Gender Sedot Antusiasme Ibu-ibu
Jakarta (08/02), lebih dari 40 ibu-ibu dari beberapa ormas menghadiri Diskusi Tematik "Telaah Kritis atas Konsep Kesetaraan Gender" dengan narasumber Dr. Adian Husaini selaku Peneliti INSISTS. Meski diadakan siang hari tetapi ibu-ibu terlihat antusias mengikuti acara diskusi tersebut.
Diskusi yang bertempat di Aula Serbaguna di Komplek DPR-RI, Kalibata, ini bertujuan untuk mengkritisi RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) yang saat ini sedang digodok oleh anggota DPR Komisi 8. Menurut peserta yang hadir, RUU KKG sudah sampai pada tahap Rapat Dengar Pendapat.
Dari hasil diskusi yang diadakan oleh PP. Salimah (Persaudaraan Muslimah), Nurul Hidayati SS. MBA selaku Ketua Umum PP. Salimah memberikan pernyataan bahwa ia akan menindaklanjuti ide yang diberikan oleh Dr. Adian untuk mengajak para ormas di seluruh Indonesia memberikan pernyataan bersama menolak RUU tersebut dan akan bekerjasama dengan INSISTS untuk melaksanakan Training for Trainer (ToT) dari majelis ke majelis ta'lim untuk menjelaskan konsep Kesetaraan Gender dan mencegah meluasnya Kesetaraan Gender di kalangan perempuan, terutama ibu-ibu rumah tangga.
Diharapkan dari diskusi ini, para peserta yang hadir dapat memahami konsep kesetaraan gender dan tujuannya.
Kemudian...
Ini jawaban dari Koordinator Liputan saya :
Kemudian...
Ini jawaban dari Koordinator Liputan saya :
Alhamudlillah Terimakasih sudah bersedia kirim berita.
Kalo boleh komen...., berita yang Sarah tulis ini belum jelas arahnya. Gagasan atau hal penting bagi pembaca tidak terlihat dari naskah ini.
Saya mulai dari judul,
1. apa pentingnya bagi pembaca soal ibu-ibu antusias ikut diskusi KG tsb?
2. apa juga yang membuat ibu2 tadi antusias?
3. dari sudut pandang jurnalistik, jumlah 40 orag ikut diskusi itu bukan hal yang luar biasa. masih banyak acara-2 semisal di Jakarta atu tempat lainnya yang dihadiri lebih dari jumlah 40 itu, namun tidak menarik untuk diberitakan.
saya langsung loncat ke par. 3.
1.Kenapa bisa ada pernyataan tentang PP Salimah akan mendukung ide Ust. Adian agar ormas2 menolak RUU, padahal sebkumnya tidak disinggung sama sekali pernyataan Adian ttg hal itu? analoginya: kenapa asap yang muncul duluan sebelum api?
2. Kenapa tidak ditulis pernyataan narasumber, baik itu Adian, PP Salimah, atau yg lainnya, yang menjelaskan bahaya RUU KG sehingga patut dan harus untuk ditolak? Kalau hal itu ada, keterangan itu bisa dijadikan lead berita ini.
alinea terakhir:
alinea terakhir:
" Diharapkan dari diskusi ini, para peserta yang hadir dapat memahami konsep kesetaraan gender dan tujuannya."
1. Dari tulisan yang Sarah kirim ini, adakah penjelasan tentang kesetaraan gender dan tujuannya?
2. Apa sih bahayanya kesetaraan gender bagi umat?
Btw, Saya rasa pertanyaan-2 yang Saya SMS tadi pagi belum terdapat jawaban/penjelasannya dari narsum di tulisan ini.
Akhirnya, saya perbaiki kembali berita yang telah saya buat dan seperti ini jadinya...
PP.
Salimah Akan Kampanye Tolak RUU Kesetaraan Gender
Konsep Kesetaraan
Gender memang tidak lagi hanya menjadi wacana di Indonesia, tentunya masih
segar dalam ingatan kita saat aktivis Feminis-Prof. Musdah Mulia mengajukan
Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) pada tahun 2004 lalu,
dimana dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa perkawinan beda agama
disahkan dan calon istri dapat mengawinkan dirinya sendiri (tanpa wali). Paham yang memang
sudah lama diusung oleh Barat untuk menentang segala penindasan dan
diskriminasi terhadap perempuan ini rupanya sekarang naik tingkat menjadi RUU
Kesetaraan Gender (RUU KG).
Hal inilah yang
membuat PP. Salimah selaku salah satu Ormas Islam Perempuan yang berdiri sejak
hampir 12 tahun yang lalu, mengadakan Diskusi Tematik berjudul “Telaah Kritis
atas Konsep Kesetaraan Gender”, di Komp. DPR RI, Kalibata, Jakarta Selatan,
pada Rabu (08/02). Diskusi ini dibagi ke dalam dua sesi, sesi pertama
penyampaian konsep Kesetaraan Gender dan kelemahan dari RUU KG oleh Dr. Adian
Husaini selaku narasumber tunggal dan sesi kedua tanya jawab dengan narasumber.
Dalam acara tersebut hadir pula beberapa ormas lain seperti KAMMI, PERMATA dan LK3GI.
Diskusi yang dihadiri
lebih dari 40 perempuan ini bertujuan untuk mengkritisi RUU KG yang sedang
digodok oleh anggota DPR Komisi 8 dan saat ini sudah sampai pada tahap rapat
dengar pendapat.
Para peserta yang
hadir juga sepakat bahwa paham Kesetaraan Gender sangat merusak karena bisa
menghancurkan tatanan keluarga muslim yang sudah terbangun dengan konsep Islam.
Selain itu, paham ini juga berefek besar pada perempuan-perempuan muslim karena
bisa membuat mereka tidak bangga lagi akan posisinya sebagai seorang Ibu dan
Istri.
Dalam kesempatan tersebut,
Dr. Adian memberikan solusi jangka panjang untuk membendung RUU KG ini, yaitu
dengan cara mengadakan ToT (Training For Trainer). Ia juga menyebutkan, rencananya,
INSISTS akan mengirim para trainernya untuk menjelaskan konsep Kesetaraan
Gender dari Majelis ke majelis ta’lim untuk menjelaskan konsep Kesetaraan
Gender dan untuk mencegah meluasnya paham ini di kalangan Perempuan, terutama
pada Ibu-Ibu rumah tangga. Kemudian, ia juga memberikan usulan pada ormas-ormas
yang hadir untuk segera membuat pernyataan bersama dengan ormas-ormas yang lain
untuk menolak RUU KG.
“Saya sebagai ketua
Umum dari PP. Salimah akan memfollow up solusi yang diberikan oleh Pak Adian
dengan membuat pernyataan bersama menolak RUU KG dengan ormas-ormas lain dan
akan segera melaksanakan program Training for Trainer yang tadi sudah
disebutkan”, pungkas Nurul Hidayati S.S., MBA., sesaat sebelum acara diskusi selesai
karena ISHOMA.
Diharapkan dari diskusi ini, para
peserta yang hadir dapat memahami konsep kesetaraan gender dan tujuannya.
Namun, setelah digabungkan dengan berita yang lain dan diedit oleh Ibnu Syafaat, hasilnya jadi seperti ini :
RUU KG Ancam Keutuhan Keluarga
Hidayatullah.com--Setelah sekian lama tidak terdengar geliatnya, diam-diam kelompok aktivis feminis melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan (PP) dan Perlindungan Anak (PA) telah menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) dan Naskah Akademik Kesetaraan Gender (KG). Kini, mereka tengah berupaya mendorong agar draf RUU dan Naskah Akademik itu segera dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
RUU ini memang sepi dari pemberitaan. Padahal, menurut sumber hidayatullah.com, draf RUU KG sudah ada di Kementerian PP dan PA sejak tahun 2010. Besar dugaan kondisi ini sengaja diciptakan agar tidak timbul resistensi umat Islam terhadap draf RUU ini.
Ledia Hanifa Amalia, anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan, meski draf RUU KG masih mentah namun agenda pembahasannya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2012.
RUU ini memang sepi dari pemberitaan. Padahal, menurut sumber hidayatullah.com, draf RUU KG sudah ada di Kementerian PP dan PA sejak tahun 2010. Besar dugaan kondisi ini sengaja diciptakan agar tidak timbul resistensi umat Islam terhadap draf RUU ini.
Ledia Hanifa Amalia, anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan, meski draf RUU KG masih mentah namun agenda pembahasannya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2012.
“RUU ini saya lihat masih mentah ya, sehingga belum dibahas dan belum sampai tahap rapat dengar pendapat, juga masih berbentuk draf,” kata Ledia kepada Sarah Mantovani dari hidayatullah.com di Gedung Nusantara I, DPR-RI, pertengahan Februari lalu.
Rena Herdiyani, salah seorang aktivis feminis pengusung RUU KG mengungkapkan lahirnya RUU ini dilatarbelakangi persoalan masih banyaknya diskriminasi gender. “Kedudukan dan posisi perempuan masih dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki oleh masyarakat di berbagai bidang kehidupan,” ungkap Rena kepada situs ini.
Kata Rena, hal ini terjadi karena masih kuatnya nilai-nilai, praktek budaya, sistem sosial dan bentuk lainnya yang patriarkis alias mengutamakan kaum Adam daripada kaum Hawa. Nilai-nilai ini terinternalisasi dalam pikiran dan praktik hidup masyarakat.
Rena mencontohkan pembagian hak waris antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, masyarakat seringkali salah menafsirkan mengenai hak waris dalam Islam. Salah penafsiran ini menyebabkan perempuan mendapat perlakuan tidak adil.
“Seharusnya, ada pertimbangan-pertimbangan khusus sehingga perempuan juga mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, apalagi misalnya perempuan tersebut adalah kepala keluarga,” jelasnya.
My Body is My Right?
Dalam konsep kesetaraan gender terdapat jargon “my body is my right”. Menurut Rena, my body is my rightmerupakan hak perempuan atas integritas dan kontrol terhadap tubuhnya sendiri. Karena, jelas Rena, selama ini kontrol terhadap perempuan ditentukan oleh pasangan, suami, keluarga, masyarakat, bahkan negara.
“Perempuan berhak miliki hak otonomi untuk pengambilan keputusan yang terkait dengan tubuhnya sendiri, misalnya cara berpakaian, hak untuk hamil, melahirkan dan menyusui, penentuan jumlah dan jarak kelahiran anak, memilih alat kontrasepsi, hak seksual dan seksualitas, dan lain-lain,” jelasnya.
Selain itu perempuan juga berhak untuk melakukan aborsi tanpa izin dari siapapun, meski perbuatan itu dilakukan akibat dari seks bebas dan berhak untuk tidak mengurus anak.
Berbahaya
Dr Adian Husaini, Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), menganggap RUU KG sangat berbahaya. “Konsep Tuhan yang dipakai dalam RUU KG ini berpijak pada konsep Tuhan versi Iblis, diakui keberadaan-Nya tetapi utusan dan aturan-aturanNya ditolak atau dilawan,” kata Adian.
Kemudian, tambah Adian, RUU KG orientasinya hanya pada dunia, sedangkan dimensi akhiratnya dibuang. RUU ini juga dapat merusak tatanan kehidupan berkeluarga yang merupakan instrumen terkecil dalam terciptanya masyarakat berperadaban.
Rena Herdiyani, salah seorang aktivis feminis pengusung RUU KG mengungkapkan lahirnya RUU ini dilatarbelakangi persoalan masih banyaknya diskriminasi gender. “Kedudukan dan posisi perempuan masih dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki oleh masyarakat di berbagai bidang kehidupan,” ungkap Rena kepada situs ini.
Kata Rena, hal ini terjadi karena masih kuatnya nilai-nilai, praktek budaya, sistem sosial dan bentuk lainnya yang patriarkis alias mengutamakan kaum Adam daripada kaum Hawa. Nilai-nilai ini terinternalisasi dalam pikiran dan praktik hidup masyarakat.
Rena mencontohkan pembagian hak waris antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, masyarakat seringkali salah menafsirkan mengenai hak waris dalam Islam. Salah penafsiran ini menyebabkan perempuan mendapat perlakuan tidak adil.
“Seharusnya, ada pertimbangan-pertimbangan khusus sehingga perempuan juga mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, apalagi misalnya perempuan tersebut adalah kepala keluarga,” jelasnya.
My Body is My Right?
Dalam konsep kesetaraan gender terdapat jargon “my body is my right”. Menurut Rena, my body is my rightmerupakan hak perempuan atas integritas dan kontrol terhadap tubuhnya sendiri. Karena, jelas Rena, selama ini kontrol terhadap perempuan ditentukan oleh pasangan, suami, keluarga, masyarakat, bahkan negara.
“Perempuan berhak miliki hak otonomi untuk pengambilan keputusan yang terkait dengan tubuhnya sendiri, misalnya cara berpakaian, hak untuk hamil, melahirkan dan menyusui, penentuan jumlah dan jarak kelahiran anak, memilih alat kontrasepsi, hak seksual dan seksualitas, dan lain-lain,” jelasnya.
Selain itu perempuan juga berhak untuk melakukan aborsi tanpa izin dari siapapun, meski perbuatan itu dilakukan akibat dari seks bebas dan berhak untuk tidak mengurus anak.
Berbahaya
Dr Adian Husaini, Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), menganggap RUU KG sangat berbahaya. “Konsep Tuhan yang dipakai dalam RUU KG ini berpijak pada konsep Tuhan versi Iblis, diakui keberadaan-Nya tetapi utusan dan aturan-aturanNya ditolak atau dilawan,” kata Adian.
Kemudian, tambah Adian, RUU KG orientasinya hanya pada dunia, sedangkan dimensi akhiratnya dibuang. RUU ini juga dapat merusak tatanan kehidupan berkeluarga yang merupakan instrumen terkecil dalam terciptanya masyarakat berperadaban.
Adian memberi contoh, kalangan feminis sering mempersoalkan masalah double burden (beban ganda) yang dialami oleh seorang perempuan yang meniti karir. Di samping bekerja di luar rumah, perempuan itu juga masih dibebani mengurus anak dan berbagai urusan rumah tangga.
Dalam pasal 1 ayat 1 RUU KG, gender didefinisikan sebagai nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat setempat mengenai tugas peran tanggungjawab, sikap dan sifat yang dianggap patut bagi perempuan dan laki-laki, yang dapat diubah dari waktu ke waktu.
Dengan begitu, jika RUU ini disahkan, maka ke depan bakal banyak perempuan yang bekerja di luar rumah dan mengabaikan tugas pokoknya, yakni sebagai ibu rumah tangga.
Bahkan dalam ayat 2 pasal yang sama, menurut analisis Adian, perempuan yang memutuskan sebagai ibu rumah tangga tidak diperhitungkan dalam rangka berpartisipasi dalam pembangunan. Atas pertimbangan-pertimbangan itu Adian mengajak agar umat Islam menolak RUU KG.
Ledia bersama fraksi PKS sudah membahas RUU KG. Menurut Ledia, isi RUU tersebut terlalu detil mengatur kehidupan kaum perempuan saja, sama sekali tidak mengaitkan perempuan dengan anak. Sehingga, diasumsikan ada pengabaian terhadap keluarga dan anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) misalnya, sudah memberi masukan agar RUU KG ada klausul yang melindungi anak. “Kita ingin mendorong seorang perempuan, tapi anak dan keluarga juga harus terlindungi. Artinya tidak boleh ada pengabaian terhadap pihak lain. Jadi, saya pikir tidak mesti ada undang-undang yang kemudian mengatur perempuan secara khusus,” jelas Ledia.
Terkait tentang kuota politik yang menjadi salah satu isu kesetaraan gender, Ledia menjelaskan masalah itu terjadi karena disebabkan kompetensi.
“Tidak semua laki-laki boleh jadi anggota dewan, tidak semua perempuan boleh jadi anggota dewan. Jadi, masalahnya bukan pada persoalan gender, tapi adalah siapa yang kemudian mempunyai kompetensi yang memadai. Ini artinya, negara harus bertanggung jawab meningkatkan kompetensi seluruh warganya,” kata Ledia.
Draf RUU KG dibuat sebagai upaya meratifikasi CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita). Ledia mengingatkan, Indonesia tidak bisa begitu saja mengadaptasi CEDAW melalui berbagai RUU, karena Indonesia punya kultur yang berbeda.
Dalam pasal 1 ayat 1 RUU KG, gender didefinisikan sebagai nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat setempat mengenai tugas peran tanggungjawab, sikap dan sifat yang dianggap patut bagi perempuan dan laki-laki, yang dapat diubah dari waktu ke waktu.
Dengan begitu, jika RUU ini disahkan, maka ke depan bakal banyak perempuan yang bekerja di luar rumah dan mengabaikan tugas pokoknya, yakni sebagai ibu rumah tangga.
Bahkan dalam ayat 2 pasal yang sama, menurut analisis Adian, perempuan yang memutuskan sebagai ibu rumah tangga tidak diperhitungkan dalam rangka berpartisipasi dalam pembangunan. Atas pertimbangan-pertimbangan itu Adian mengajak agar umat Islam menolak RUU KG.
Ledia bersama fraksi PKS sudah membahas RUU KG. Menurut Ledia, isi RUU tersebut terlalu detil mengatur kehidupan kaum perempuan saja, sama sekali tidak mengaitkan perempuan dengan anak. Sehingga, diasumsikan ada pengabaian terhadap keluarga dan anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) misalnya, sudah memberi masukan agar RUU KG ada klausul yang melindungi anak. “Kita ingin mendorong seorang perempuan, tapi anak dan keluarga juga harus terlindungi. Artinya tidak boleh ada pengabaian terhadap pihak lain. Jadi, saya pikir tidak mesti ada undang-undang yang kemudian mengatur perempuan secara khusus,” jelas Ledia.
Terkait tentang kuota politik yang menjadi salah satu isu kesetaraan gender, Ledia menjelaskan masalah itu terjadi karena disebabkan kompetensi.
“Tidak semua laki-laki boleh jadi anggota dewan, tidak semua perempuan boleh jadi anggota dewan. Jadi, masalahnya bukan pada persoalan gender, tapi adalah siapa yang kemudian mempunyai kompetensi yang memadai. Ini artinya, negara harus bertanggung jawab meningkatkan kompetensi seluruh warganya,” kata Ledia.
Draf RUU KG dibuat sebagai upaya meratifikasi CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita). Ledia mengingatkan, Indonesia tidak bisa begitu saja mengadaptasi CEDAW melalui berbagai RUU, karena Indonesia punya kultur yang berbeda.
Perjuangan kaum feminis untuk melepaskan sekat-sekat perbedaan laki-laki dan perempuan bukan kali ini saja dilakukan. Usaha kaum feminis itu bahkan sudah dimulai sejak Indonesia meratifikasi CEDAW dengan melahirkan UU No. 7 tahun 1984.
Kemudian UU No. 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, upaya legalisasi aborsi melalui amandemen UU Kesehatan. Terakhir, saat Musdah Mulia bersama tim Pengarusutamaan gendernya pada tahun 2008 membuat Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam. */Sarah Mantovani, Ibnu Syafaat
Red: Syaiful Irwan
Ya ampun.... Jadi ini toh yang dimaksud dengan spot news, selama ini saya menulis berita tapi tidak terlalu memperhatikan jenis berita apa yang saya tulis. Mendadak bodoh gara-gara spot news, CAPE DEEEH!
ya harus banyak belajar... semangat
ReplyDelete