- Back to Home »
- Feature »
- Journalist is My Dream, are You?
Posted by : Sarah Larasati Mantovani
Sunday, 29 January 2012
Mungkin
bagi kebanyakan orang, saat kecilnya ingin bercita-cita menjadi Dokter,
Astronot, Pilot, Polisi atau pun cita-cita yang menjanjikan lainnya. Tapi tidak
bagi saya, saya sudah jatuh hati pada dunia Jurnalistik sejak melihat seorang
News Anchor membacakan berita di Tv saat SD. Bagi saya, pekerjaan Jurnalistik
merupakan pekerjaan yang menantang untuk saya.
Berawal
dari Imajinasi Saat Kecil
Sewaktu SD, saya sangat
suka memperhatikan News Anchor
(Pembaca Berita) di Tv. Hingga pada suatu hari, saya berpura-pura berperan
menjadi seorang News Anchor, kemudian
saya memegang beberapa kertas ukuran A4 berisi berita yang saya tulis dari Tv
sambil menghadap ke arah dinding dengan mengikuti gaya News Anchor tersebut.
Tidak puas berakting menjadi
seorang News Anchor, saya membuat
majalah anak-anak yang saya gambar sendiri covernya. Pada waktu itu, majalah
tersebut saya beri nama SaNeNi, yang namanya saya ambil dari nama saya dan
kedua sahabat kecil saya, Nesya dan Nike.
Beranjak SMP, saya
mulai rajin menulis buku harian. Pokoknya, segala aktivitas saya selama
seharian itu saya tulis lengkap di Diary, termasuk masalah cinta juga :P.
Selain itu, untuk mengasah kemampuan menulis dan membaca, saya juga ikut ekskul
mading yang dibimbing langsung oleh Pak Suhardi-Guru Bahasa Indonesia saya yang
kini menjadi Kepala Sekolah, hasilnya saya pernah menjadi salah satu finalis
lomba membaca cerpen saat sekolah saya mengadakan Bulan Bahasa pada waktu itu.
Begitu pun pada saat saya duduk di bangku SMA, lama-lama saya jadi terbiasa
untuk mengungkapkan apa yang saya rasakan dan pikirkan dalam bentuk tulisan.
Sempat
Merasa Putus Asa
Sebelum masuk kuliah,
saya sempat merasa putus asa dan tertekan, karena orangtua saya ternyata tidak mampu
membiayai kuliah di perguruan tinggi yang mahal, sekalipun itu adalah perguruan
tinggi negeri, keinginan saya untuk bisa kuliah jurnalistik saya kubur kembali
dalam-dalam. Pada akhirnya, saya dikuliahkan di sebuah kampus yang jaraknya
tidak jauh dari rumah (hanya 15 menit jika naik motor) dan masuk fakultas yang
dipilih oleh orangtua saya, yaitu fakultas Hukum.
Tapi kemudian, saya
menemukan impian saya kembali saat mengikuti UKM Jurnalistik di kampus bernama
Komunitas Pers Kampus (KPK). Dari situ saya banyak belajar, bagaimana menyusun
poin-poin pertanyaan untuk mewawancarai narasumber, mengumpulkan sebuah informasi
yang dibuat menjadi berita, membuat judul berita sampai menyusun berita. Banyak
pengalaman dan kesan yang saya dapat selama setahun lebih mengikuti UKM
Jurnalistik, salah satunya adalah saat saya mencopot kembali berita mengenai
salah satu bakal calon presiden mahasiswa yang tersangkut kasus nilai kuliah tanpa
diketahui oleh si balon presma tersebut, meski akhirnya ia marah-marah karena
pencopotan berita tersebut, kemudian berita mengenai LPJ salah satu presiden
mahasiswa yang pada waktu itu menuai kontroversi pada saat dipresentasikan di
Majelis Permusyawaratan Mahasiswa.
Pada saat semester 6,
saya sudah rajin menulis kejadian-kejadian yang sedang ‘in’ dan rajin menghiasi
media elektronik di Facebook sendiri, seperti pertandingan panas antara
Barcelona versus Madrid, kasus FPI Depok yang mengejar-ngejar waria pada saat
seminar yang saya tulis dengan judul HAM yang (Mulai) Kebablasan, kasus Pajak
Mafia Gayus yang saya tulis dengan judul Jargon Iklan Pajak, tulisan tentang
Pancasila, Kritik Terhadap buku Republik Bohong dan buku Merukunkan Umat
Beragama,Valentine Day dan tanggapan tentang Penyesatan Opini yang dilakukan
oleh seorang aktivis Liberal saat ia menulis tentang Ahmadiyah di situs Tempo.
Bertemu
Dengan Redaktur Situs Hidayatullah
Awal Maret 2011, saya
menulis tentang Mahar ala Adat versus ala Islam yang inspirasinya saya dapat
dari hasil percakapan antara saya dengan salah satu kawan Aceh saya, bang
Muhadzier tentang mahar di Aceh. Percakapan tersebut kemudian saya rangkum
menjadi bentuk tulisan opini dan saya publish di facebook. Atas saran dan hasil
dari provokasi dari bang Muhadzier, akhirnya untuk yang pertama kali tulisan
saya langsung tembus ke situs acehinstitute.org (dan menerima honor tulisan
pertama! :p), dimana pada waktu itu, menurut pengakuan dari bang Muhadzier,
banyak tulisan yang sangat sulit bisa tembus ke sana, “orang Aceh saja belum
tentu bisa tembus, apalagi orang luar Aceh seperti Sarah”, katanya.
Kalau tidak salah
ingat, tepat pada bulan ini juga, Allah mempertemukan saya dengan pak Cholis
Akbar-Redaktur situs Hidayatullah yang juga merupakan wartawan senior, melalui
facebook. Saat itu, beliau sedang mencari penulis-penulis pemula seperti saya
dan memasukkan saya ke dalam grup penulismuslim. Selain itu, beliau juga
memprovokasi saya, “Kalau kamu hanya menyimpan tulisanmu di facebook, tidak
akan banyak orang yang membaca, paling hanya teman-temanmu saja”, ujarnya suatu
hari.
Juni 2011, saya mulai ditantang
oleh pak Cholis Akbar untuk menanggapi salah satu pernyataan Ansyad Mba’i-Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme di situs Kristen tentang Negara Agama.
Saya sambut tantangan tersebut meski tulisannya baru jadi sebulan lebih
kemudian (sekitar tanggal 20 Juli 2011) karena pada waktu itu saya harus
membagi waktu untuk menulis skripsi juga.
Selama dibimbing oleh Pak Cholis, banyak pengalaman
menulis yang saya dapatkan. Mulai
dari masalah deadline tulisan, menyusun alur tulisan sehingga menjadi
sistematis, membuat kutipan, membuat berita yang covered from both sides,
banyaknya karakter tulisan sampai
pencarian judul. Pernah pak Cholis memberi nilai 6 untuk tulisan saya karena
tulisan saya tidak seperti yang beliau harapkan. Pernah juga, tulisan saya
hampir membuat beliau pingsan bahkan sampai dikatakan seperti makalah saking
banyaknya.
Journalist,
I’m comiiiing…!
24 Oktober 2011, saya
diterima menjadi seorang reporter di sebuah media Islam di kawasan Jakarta
Selatan. Rasanya tidak pernah terpikirkan dalam benak saya, jika akhirnya saya
bisa mewujudkan impian menjadi seorang Jurnalis atau setidaknya bekerja di
sebuah Media. Apalagi, mengingat banyak ujian yang harus saya lalui untuk
menggapai cita-cita tersebut dan background pendidikan saya selama kuliah yang
bukan dari Jurnalistik atau Ilmu Komunikasi. Dari situlah, saya sempat terpikir
bahwa saya tidak akan pernah bisa menggapainya. Tapi, keyakinan bahwa saya
tidak boleh kalah dengan keterbatasan itulah yang membuat saya tidak mau
melepas impian hingga saya benar-benar mendapatkannya.
Namun, impian saya
tidak akan hanya berhenti sampai di sini saja, karena sebagai jurnalis muda, masih banyak
peristiwa/kejadian yang belum saya eksplorasi menjadi berita, apalagi saya
masih harus banyak berlatih menulis lagi dan sungguh-sungguh memahami KEWI
(Kode Etik Wartawan Indonesia), karena saya menyadari menjadi seorang jurnalis
yang profesional tidak hanya cukup berbekal pengetahuan dan kemampuan menulis
saja, tetapi juga pengalaman.
Ah, tiba-tiba, saya
jadi teringat kembali dengan sebuah quote, “Napoleon Bonaparte lebih takut pada
kuli tinta daripada takut pada Tentara yang membawa senjata…”. Begitu besar
efek tulisan seorang Jurnalis hingga membuat takut seorang penjajah seperti
Napoleon Bonaparte daripada ketakutan ia terhadap senjata.
Journalist is My Dream,
Are You?.
wah perjalanan panjang menuju seorang jurnalis tp sangat menginspari bg yg lain smngatnya sarah....saya saja smpai terhanyt ktka membaca postngan ini.
ReplyDeleteTeurimong geunaseh sudah menyukai postingan saya, kak Mutia :D
ReplyDelete