Posted by : Sarah Larasati Mantovani Sunday, 18 December 2011


Perempuan itu tidak harus selalu identik dengan sumur, dapur dan kasur”, begitu jawab mubalighah asal Betawi ini saat saya tanyai tentang peran perempuan di kediaman beliau di Jati Asih, Bekasi, Rabu sore (16/11).

Wanita yang sudah berusia 69 tahun dan mempunyai 5 orang anak ini dalam kesehariannya memang selalu ingin memberikan yang terbaik kepada siapapun dan selalu bersemangat untuk suatu perubahan, termasuk di saat ia mendedikasikan dirinya untuk Muslimah Indonesia dengan mendirikan Badan Kontak Majelis Ta’lim atau yang lebih dikenal dengan BKMT, pada tanggal 1 Januari 1980.


Sebelum BKMT ini terbentuk, ia memang menyempatkan diri untuk berkeliling dari majelis ke majelis, ia melihat bahwa ibu-ibu majelis ta’lim di Indonesia mempunyai potensi yang cukup besar untuk berkarya, tetapi sayangnya majelis ta’lim tersebut tidak terkoordinasi dengan baik dan program-programnya tidak terurus dan terarah. Oleh karena sebab itulah, ia ingin Muslimah Indonesia memberikan peran dan kontribusinya untuk agama dan bangsa dengan mendirikan BKMT ini.

Meski beliau mengatakan bahwa di dalam Al-Qur’an dan Hadits antara laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang sama dan perempuan merupakan mitra laki-laki, ia tetap berharap perempuan bisa membagi dan mengatur waktunya antara karir dengan rumah tangga, karena perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama besar dalam hal mendidik anak-anaknya, hal ini bertujuan agar anak-anaknya tidak menjadi generasi-generasi yang zuriyah (lemah), sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dalam surat An-Nisa ayat 9.

Sebagai perempuan, kita harus berani tetapi bukan melawan, sejajar tetapi bukan berarti mengatur, “Jangan karena kita punya penghasilan lebih besar dari suami lalu kita mau kuasai rumah tangga, jangan sampai deh, nanti Allah murka sama kita, karena syarat perempuan masuk surga itu kan taat pada suami”. Tuturnya.

Dia memberi contoh, saat seorang ibu sibuk dengan karirnya, ia juga harus meluangkan waktunya khusus untuk anak dan suami, sesekali mereka diajak keluar makan malam ataupun diajak untuk shalat berjama’ah, “Jangan karena kita ingin mengejar sesuatu lalu kita meninggalkan yang lainnya, jadi istri harus bisa mengkombinasikan”

Ia juga mengutip ucapan Nabi saw., apabila Allah mengkehendaki suatu keluarga tersebut bahagia, maka Allah akan menjadikan keluarga tersebut menjadi faham agama, Suami dan istri saling menghormati, Harmonis (tahu fungsinya masing-masing), Hemat dalam perbelanjaan dan antara suami dan istri tahu kekurangan diri sendiri.

Sedari kecil, wanita yang akrab disapa Ibu Tuty ini memang sudah dididik dan dipersiapkan oleh Ayahnya, K.H. Abdullah Syafi’i untuk menjadi seorang mubalighah. Hal Ini terlihat saat ia berumur 15 tahun sudah mandiri dengan mempunyai majelis ta’lim yang jumlah muridnya sudah 300 lebih. Selain itu, pada umur 13 tahun, ia sudah mengajari ibu-ibu buta huruf dengan cara menaiki sepeda ke Pancoran. “Hei anak-anak, kalau kalian besar nanti, jangan mau jadi lele sumur, tapi kalian harus jadi lele sawah.” Begitu pesan Ayahnya pada Tuty dan saudara-saudaranya saat kecil.

Kesederhanaan Tuty sebagai seorang mubalighah juga terlihat saat ia tidak mau dipanggil ustadzah, karena panggilan ustadzah dirasakannya terlalu berat, “Menjadi anak kyai, bukan berarti harus tinggi”. Imbuhnya.

Peran dan kontribusinya untuk membangun Muslimah Indonesia menjadi lebih baik membuat wanita yang begitu mengagumi sosok mantan presiden B.J Habibi ini berharap agar tidak ada pemilahan antara anak laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan. “Jadi untuk bapak-bapak, berikanlah peluang pada perempuan-perempuan kita, untuk berpendidikan, untuk berprestasi”. Tutupnya. (SLM)

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -