- Back to Home »
- News »
- Tuty Alawiyah: Perempuan Tidak Harus Sumur, Dapur dan Kasur
Posted by : Sarah Larasati Mantovani
Sunday, 18 December 2011
Wanita
yang sudah berusia 69 tahun dan mempunyai 5 orang anak ini dalam
kesehariannya memang selalu ingin memberikan yang terbaik kepada
siapapun dan selalu bersemangat untuk suatu perubahan, termasuk di
saat ia mendedikasikan dirinya untuk Muslimah Indonesia dengan
mendirikan Badan Kontak Majelis Ta’lim atau yang lebih dikenal
dengan BKMT, pada tanggal 1 Januari 1980.
Sebelum
BKMT ini terbentuk, ia memang menyempatkan diri untuk berkeliling
dari majelis ke majelis, ia melihat bahwa ibu-ibu majelis ta’lim di
Indonesia mempunyai potensi yang cukup besar untuk berkarya, tetapi
sayangnya majelis ta’lim tersebut tidak terkoordinasi dengan baik
dan program-programnya tidak terurus dan terarah. Oleh karena sebab
itulah, ia ingin Muslimah Indonesia memberikan peran dan
kontribusinya untuk agama dan bangsa dengan mendirikan BKMT ini.
Meski
beliau mengatakan bahwa di dalam Al-Qur’an dan Hadits antara
laki-laki dan perempuan mempunyai peran yang sama dan perempuan
merupakan mitra laki-laki, ia tetap berharap perempuan bisa membagi
dan mengatur waktunya antara karir dengan rumah tangga, karena
perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama besar dalam hal mendidik
anak-anaknya, hal ini bertujuan agar anak-anaknya tidak menjadi
generasi-generasi yang zuriyah (lemah), sebagaimana yang digambarkan
oleh Allah dalam surat An-Nisa ayat 9.
Sebagai
perempuan, kita harus berani tetapi bukan melawan, sejajar tetapi
bukan berarti mengatur, “Jangan karena kita punya penghasilan lebih
besar dari suami lalu kita mau kuasai rumah tangga, jangan sampai
deh, nanti Allah murka sama kita, karena syarat perempuan masuk surga
itu kan taat pada suami”. Tuturnya.
Dia
memberi contoh, saat seorang ibu sibuk dengan karirnya, ia juga harus
meluangkan waktunya khusus untuk anak dan suami, sesekali mereka
diajak keluar makan malam ataupun diajak untuk shalat berjama’ah,
“Jangan karena kita ingin mengejar sesuatu lalu kita meninggalkan
yang lainnya, jadi istri harus bisa mengkombinasikan”
Ia
juga mengutip ucapan Nabi saw., apabila Allah mengkehendaki suatu
keluarga tersebut bahagia, maka Allah akan menjadikan keluarga
tersebut menjadi faham agama, Suami dan istri saling menghormati,
Harmonis (tahu fungsinya masing-masing), Hemat dalam perbelanjaan dan
antara suami dan istri tahu kekurangan diri sendiri.
Sedari
kecil, wanita yang akrab disapa Ibu Tuty ini memang sudah dididik dan
dipersiapkan oleh Ayahnya, K.H. Abdullah Syafi’i untuk menjadi
seorang mubalighah. Hal Ini terlihat saat ia berumur 15 tahun sudah
mandiri dengan mempunyai majelis ta’lim yang jumlah muridnya sudah
300 lebih. Selain itu, pada umur 13 tahun, ia sudah mengajari ibu-ibu
buta huruf dengan cara menaiki sepeda ke Pancoran. “Hei anak-anak,
kalau kalian besar nanti, jangan mau jadi lele sumur, tapi kalian
harus jadi lele sawah.” Begitu pesan Ayahnya pada Tuty dan
saudara-saudaranya saat kecil.
Kesederhanaan
Tuty sebagai seorang mubalighah juga terlihat saat ia tidak mau
dipanggil ustadzah, karena panggilan ustadzah dirasakannya terlalu
berat, “Menjadi anak kyai, bukan berarti harus tinggi”. Imbuhnya.
Peran
dan kontribusinya untuk membangun Muslimah Indonesia menjadi lebih
baik membuat wanita yang begitu mengagumi sosok mantan presiden B.J
Habibi ini berharap agar tidak ada pemilahan antara anak laki-laki
dan perempuan dalam hal pendidikan. “Jadi untuk bapak-bapak,
berikanlah peluang pada perempuan-perempuan kita, untuk
berpendidikan, untuk berprestasi”. Tutupnya. (SLM)