- Back to Home »
- Opinion »
- Jangan Paksakan Kami Untuk Setara!
Posted by : Sarah Larasati Mantovani
Tuesday, 15 November 2011
USAHA kaum feminis Indonesia agar terciptanya Kesetaraan Gender di
Indonesia tidak berhenti pada usaha pembuatan CLD-KHI (Counter Legal
Draft-Kompilasi Hukum Islam) saja tetapi sudah mencapai pembentukan
rancangan undang-undang tentang Kesetaraan Gender.
“Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan” (Ps. 1 RUU Kesetaraan Gender)
“Negara-negara peserta akan mengambil
segala tindakan yang pantas untuk menghapus diskriminasi terhadap kaum
wanita di bidang pekerjaan guna menjamin, atas dasar persamaan kaum pria
dan wanita, hak yang sama, khususnya:
(b) Hak untuk memperoleh kesempatan-kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi yang samadalam masalah pekerjaan”.
(b) Hak untuk memperoleh kesempatan-kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi yang samadalam masalah pekerjaan”.
Sedangkan, di Inggris saja, saat pemerintahnya memberlakukan “Gender Free Aproach” pada tahun 1997 dalam merekrut tentaranya dan memberlakukan ujian fisik yang sama kepada kader pria dan wanita maka yang terjadi adalah tingkat cedera yang tinggi di kalangan kader wanita.
Kemudian, dalam Perang Teluk, satu per 10 kru wanita Kapal Perang Amerika USS Acadia dikembalikan karena hamil di perjalanan menuju atau di medan perang, sementara jumlah tentara pria yang dikembalikan: Nol. Kapal itu kemudian diolok-olok dan diganti namanya menjadi The Love Boat. (Santi Soekanto, “Gerakan Feminisme Kembali ke Sunnatullah”, 22 April 2006, www.hidayatullah.com.)
Nah, yang menjadi pertanyaannya adalah: Sanggupkah jika kita-para perempuan mengalami seperti apa yang di alami oleh kader tentara wanita Inggris di atas jika hal tersebut juga di berlakukan di Negara kita?
Selain itu, apakah RUU Kesetaraan Gender memang benar-benar sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara kita? Dalam hal ini, hak-hak yang diperjuangkan memang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama yang di anut di Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 J ayat (2) tentang Hak Asasi Manusia?.
Keganjilan lain pasal-pasal yang di adopsi dari CEDAW ke dalam RUU Kesetaraan Gender, terutama pada pasal 1, pasal 9, pasal 11, pasal 13 dan pasal 16 CEDAW.
Sebagian pasal-pasal yang telah di adopsi dari CEDAW tersebut juga akan membawa implikasi yang sangat serius bagi kehidupan beragama umat Islam Indonesia terutama dalam hal hukum keluarga. Karena dalam pasal 16 ayat 1 huruf (b) dan (h), menyebutkan:
“Negara-negara peserta akan mengambil
tindakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap kaum wanita
dalam segala hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan-hubungan
keluarga dan khususnya akan menjamin, atas dasar persamaan kaum pria dan
kaum wanita :
(h) Hak yang sama bagi kedua pasangan
dalam hal pemilikan, perolehan, pengelolaan, penguasaan, penikmatan dan
pembagian harta kekayaan, baik cuma-cuma ataupun dengan pertimbangan
nilai”.
"...bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan [272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua [273], maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta..." [QS: An Nisaa':11]
Jika yang dimaksudkan adalah "kesetaraan" dalam hal-hal yang tertulis dalam al-Quran menyangkut hubungan perkawinan (sebagaimana kasus waris tadi), maka, bukan tak mungkin para aktivis gender akan berusaha mempertanyakan ulang atau setidaknya mengotak-atik ketentuan nash dalam al-Quran.
Feminisme dan Krisis Identitas
Istilah feminisme sendiri berasal dari bahasa Latin femina, perempuan. Konon dari kata fides dan minus kemudian menjadi fe-minus. Gerakan feminisme sendiri lahir dari Barat, sekitar pada abad 18, dimana para wanitanya pada masa itu, diperlakukan secara tidak manusiawi dan menjadi korban inquisisi (penyiksaan atas kesalahan dalam beragama). Bisa di pastikan bahwa gerakan feminisme merupakan gerakan yang lahir dari pemberontakan total terhadap segala sesuatu yang di anggap telah mendiskriminasi/menindas wanita.
Dalam perkembangannya, feminisme pada akhirnya mengakui keabsahan homoseks dan lesbianisme secara religius, kemudian tanpa malu-malu lagi, para penyokong feminis radikal mendeklarasikan bahwa wanita dapat hidup dan memenuhi kebutuhan seksnya tanpa laki-laki.
Nah, yakinkah bahwa kita bisa hidup tanpa laki-laki? Mungkin kasus Bella Abzug, bisa kita jadikan sebagai cermin.
Bella merupakan icon feminisme dan perempuan aktivis feminisme dari kalangan Yahudi yang ikut berperan besar dalam penggodokan Plan of Action Konferensi Beijing 1995.
Selama puluhan tahun Bella berada di garis depan kaum feminisme yang menyuarakan kemandirian dan kesamaan hak bagi perempuan di segala lini.
Ketika Bill Clinton berkuasa, dia menjadi salah satu pendukung vokal Partai Demokrat. Di belakang wanita yang tampak perkasa ini terdapat Martin, suaminya yang pendiam yang selalu mendukung semua sepak terjangnya. Dalam majalah Ms. 1990, Bella menulis artikel “Martin, What Should I Do Now?” (Martin, Apa yang Harus Kulakukan Kini?) tentang betapa kematian Martin membuatnya bagai kapal kehilangan kemudi.
Dan kaum muslimah Indonesia yang menyebarkan maupun menganut paham semacam ini seperti sedang di landa krisis identitas, karena mereka tak percaya dengan hak, peran maupun kedudukan mereka sebagai perempuan telah di jamin dan di atur oleh Islam, sehingga mereka harus mengadopsi mentah-mentah segala konvensi yang datang dari Barat tanpa harus berkaca kembali pada nilai-nilai Islam.
Sebagai seorang muslimah, semestinya kita juga malu pada penganut agama lain, karena sejak lima tahun lalu, wanita Kristen Indonesia sudah di antisipasi untuk menghindari gerakan feminisme. (SHINE: Wanita Kristiani Harus Hindari Gerakan Feminisme, 04 October 2006), bahkan gereja Katolik Prancis juga sudah mewaspadai bahayanya teori gender ini karena teori Gender yang di ajarkan bertentangan dengan ajaran Katolik. (Gereja Prancis Waspadai Teori Gender, Indonesia Malah Bangga, hidayatullah.com, 29 September 2011).
Di dalam Islam pun, hubungan antara laki-laki dan perempuan sudah di atur sedemikian rupa. Laki-laki berkewajiban mencari nafkah sedangkan perempuan mengasuh dan mendidik anak-anaknya, meski memang tak menutup kemungkinan perempuan juga ikut membantu perekonomian keluarga tetapi tentunya harus mendapatkan izin dan pertimbangan dari suaminya.
Jika kesetaraan gender membawa dampak buruk terhadap nilai-nilai agama, maka, jangan paksakan kami untuk setara!.
Kalau cara pandang kita soal gender membenturkan nilai-nilai Islam dengan konsep gender pastinya ga akan menghasilkan solusi untuk perbaikan. Coba pilih contoh lain selain tes fisik akademi militer karena Indonesia juga punya polwan dan wanTNI yang membuktikan perempuan adalah mahluk yang tangguh dan kompetitif. Kelompok petani perempuan di daerah Simalungun misalnya, mereka terpinggirkan dan kesulitan bersaing bahkan di pasar lokal karena keterbatasan akses pelatihan literasi finansial dan keterampilan manajemen, belum lagi urusan sertifikasi yang kompleks. Segalanya pasti punya sisi negatif dan positif, jadi mari kita carikan solusi untuk yang mengeliminir yang negatif dan mengedepankan pola pikir positif untuk membawa kemaslahatan bagi semua, bukan hanya perempuan.
ReplyDelete