Posted by : Sarah Larasati Mantovani Thursday 17 October 2013

Al Umm Al Madrasatul Ula
“19 tahun pernah hidup di Papua, aku menjadi target Kristenisasi dua kali. Syukur dekat dengan Ibu, beliau lah yang mendampingi dan menasehatiku, padahal ibuku itu awam dalam agama”.

Itulah sekelumit cerita yang saya dapatkan dari teman muslimah yang berdomisili di Bandung belum lama ini, ia pernah hampir dikristenkan saat masih tinggal di tanah Papua, namun akidahnya terselamatkan karena peran seorang Ibu.


Begitu pentingnya peran seorang ibu, sampai ada peribahasa Arab yang mengatakan, “al Umm Madrasatul Ula li ibnihaa” – Ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya. Tentu, peribahasa Arab tersebut bukanlah pepesan kosong, jika ada seorang anak yang kurang adabnya, maka kita bisa melihat bagaimana cara ibunya mendidiknya.

Seorang ibu merupakan tempat lahirnya generasi penerus peradaban, dari peran ibu jua lah seorang anak ditentukan kuat atau lemahnya pertahanan iman dan akhlaknya kemudian. Maka untuk menghancurkan sebuah peradaban bisa dengan merusak akidah, moral atau menjauhkan perempuan, terutama Ibu, dan generasi penerusnya dari agama.

Jelas hal tersebut terlihat sekali pada Kristen, usaha-usaha mereka memurtadkan umat Islam telah memperlihatkan radikalnya kristenisasi yang mereka lakukan untuk menjauhkan bahkan melepaskan umat Islam Indonesia dari agamanya.

Radikalnya Kristenisasi

Menurut kamus Merriam-webster.com, radikal merupakan perubahan ekstrim dalam pandangan yang ada, kebiasaan, kondisi atau lembaga. Radikal juga bisa berarti sangat baru dan berbeda dari yang biasanya.

Usaha pemurtadan kini tidak lagi hanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi namun sudah terang-terangan dan lebih berani bahkan pernah sampai bergesekan dengan umat Islam, seperti saat kasus Mobil Pintar Ibu Ani Yudhoyono yang ternyata dimanfaatkan oleh sebuah lembaga Kristen untuk memurtadkan anak-anak Sekolah Dasar di Bekasi pada 17 Oktober 2011 lalu[1].

Bahkan sebuah lembaga misionaris Kristen secara terang-terangan menyatakan di dalam situsnya,

“Disasters in Indoneisa, including the Tsunami at the Northern tip of Sumatera and the Earthquake in Bantul, just south of Jogjakarta, have opened the nation to acceptance of at least aid from Christians and Christian nations, and an opportunity for the preaching of the Gospel of Christ”. Sejumlah bencana di Indonesia, termasuk Tsunami di Sumatra dan gempa bumi di Bantul, Yogyakarta dianggap sebagai kesempatan bagi misionaris Kristen untuk menyebarkan Injil Kristus[2].

Apa yang ada dalam website tersebut dibuktikan dengan kedok bantuan sosial dan kemanusiaan yang pernah menimpa 102 anak di Padang dan di bawa ke Panti Asuhan Kristen Ambarawa dan Malang.[3] Atau seperti yang terjadi paska meletusnya Gunung Merapi pada tahun 2010 lalu, saat sekelompok anak-anak membawa buku yang ternyata setelah diperiksa merupakan Alkitab dan didapatkan dari posko lapangan (non-muslim) di Dusun Windu Sajan, Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Magelang, yang kemudian Alkitab tersebut pada akhirnya ditarik.[4]

Upaya kristenisasi dengan memacari perempuan Muslim dan melalui budaya seperti adanya lagu nasyid Kristen yang liriknya “Ya Rabb Isa Almasih” kerap kali mereka lakukan juga, bahkan sudah ada sekolah tinggi teologi yang mensyaratkan kelulusan mahasiswanya dengan memurtadkan 5 orang (sumber : kajian Kuliah Pemikiran PSPI, Solo, Kamis 11 April 2013).

Menurut mantan penginjil yang kini menjadi aktivis dakwah, Dewi Purnamawati, umat Kristiani sangat taat dengan perpuluhan atau sepersepuluh. sepersepuluh yang berasal dari penghasilan atau gajinya, ia persembahkan untuk Tuhan yang salah satunya digunakan untuk program Misionaris atau Kristenisasi. Gereja juga punya Church Marketing atau Pemasaran Gereja yang memasarkan pribadi-pribadi mereka dengan cara sengaja mengucapkan kalimat-kalimat yang akrab di telinga orang Islam agar terlihat dekat, seperti alhamdulillah, Assalamu'alaykum dan lainnya.

Peran Muslimah

Usaha pengkristenisasian dengan cara-cara yang radikal tidak hanya mengusik kerukunan umat beragama tetapi juga ketentraman antar umat beragama, antara umat beragama yang satu dengan umat lainnya saling curiga. Oleh karenanya adanya kegiatan misionaris yang secara agresif dan upaya untuk mengalihkan kelompok agama tertentu dengan metode atau cara-cara penyebaran yang seringkali digunakan tidak sesuai dengan etika agama yang dianut sebaiknya tidak terulang kembali untuk menghindari gesekan antar agama.

Dalam memelihara kerukunan umat beragama, ada ketentuan tidak tertulis bahwa daripada berusaha membujuk orang-orang yang telah beriman untuk pindah agama, umat Islam, Katolik dan Protestan lebih baik mendakwahi orang-orang yang belum memiliki agama. Itulah lahan yang belum dimiliki oleh siapapun.[1]

Diadakannya dialog antar agama yang membicarakan perlunya pengaturan tentang masalah konversi agama dan adanya kesepakatan/perjanjian tentang hal tersebut dalam bentuk tertulis serta adanya sanksi bagi yang melanggar, sehingga upaya-upaya pemaksaan konversi agama dengan berkedok bantuan sosial atau kemanusiaan, beasiswa terselubung (disekolahkan tetapi kalau sudah besar dibaptis dan dijadikan sebagai penginjil),  dan lain-lain bisa diminimalisir. Selain itu, diadakannya pula dialog antar agama yang membicarakan perlunya kerjasama dan komunikasi untuk menghindarkan salah paham antar agama dan mencari faktor-faktor negatif yang mengganggu kerukunan umat beragama dan berupaya menghilangkannya. Tentunya agar tercipta dialog yang sehat, masing-masing dari pemeluk agama harus menghilangkan sikap curiga dan ditekankannya sikap saling jujur dan tenggang rasa yang amat besar.

Kemudian, negara juga memiliki peran sebagai penyeimbang antara hak asasi dan kewajiban dasar untuk mewujudkan HAM yang berkeadilan. Negara memiliki peran untuk memastikan bahwa dalam pelaksanaan kebebasan beragama seseorang tidak melukai kebebasan beragama orang lain. Di sinilah negara akan mewujudkan tujuannya yakni untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (the best life possible).[2]

Selain solusi di atas, Muslimah harus turut berperan aktif menangkal pemurtadan. Karena penanaman akidah pertama pada anak ada di tangan perempuan. Mengenai hal ini, Prof. Naquib Al Attas pernah mengingatkan,

Kaulah rupa Zahir Islam, dan jikalau tiada kau jaga baik dirimu, tiada kau asah halus dan persih kaca kalbumu niscaya layak menangkap dan menayangkan cahaya sinaran suria batinmu, sehingga dapat mengobarkan api cintakan Islam di dada saudara-saudaramu, maka banyak yang jahil di kalanganmu nanti. Yang hanya terpesona oleh kulit luar belaka seperti orang-orang ramai dalam cerita tadi akan meninggalkan agamamu, akan mengejek-ejek tingkah lakumu beragamakan agama yang dilihatnya seolah-olah sudah layu, sudah lenyap sinarannya, sudah kecut dan tiada lagi layak bagi menjadi pedoman hidup zaman serba baru ini”.[3]

 Muslimah merupakan salah satu zahir Islam, melalui mereka lah seharusnya tercermin dan terpantulkan keindahan ajaran-Nya. Jika ia mampu memancarkan cahaya Islam dari batinnya, maka cahaya itu akan terpancar keluar dan menarik perhatian banyak orang sehingga mereka jatuh cinta dengan Islam. Namun, Muslimah hanya dapat menjalankan fungsi ini jika ia betul-betul menjaga dirinya, dengan mengasah cermin hatinya dan kemurnian jiwanya.

Prof. Naquib Al Attas juga mengingatkan dalam bukunya, agar kaum Muslimin, khususnya Muslimah, dapat mengamalkan Islam secara sungguh-sungguh dan menjadikan diri mereka sebagai cermin keindahan Islam di atas muka bumi, sehingga orang-orang tidak berpaling dari Islam.

Karena persoalan Kristenisasi bukan hanya sekedar persoalan ekonomi atau pemenuhan kebutuhan perut semata tapi lebih pada bagaimana kita bisa memancarkan wajah Islam pada saudara kita, bagaimana kepedulian kita terhadap akidah saudara muslim yang lain dan bagaimana kita bisa memahami cara berpikir Kristen yang kata Prof. Naquib Al Attas sudah terbaratkan.

Dewi Purnamawati juga pernah mewanti-wanti akan bahaya mengenai Kristenisasi pada para Muslimah, ia menjelaskan bahwa gerakan misionaris berawal dari keluarga,

"Banyak aktivis dakwah yang idealismenya kabur karena punya suami yang tidak punya misi untuk berdakwah. Padahal, umat Kristen sudah punya misi menikah untuk melahirkan Laskar-laskar Kristen. Umat Kristen juga sudah menyiapkan gerakan misionaris dari sejak dini”.

Kemudian lanjut beliau, di sinilah peran seorang Muslimah untuk mendidik anak-anak atau kader-kader yang unggul karena yang diserang pertama kali adalah keluarga dan terutama wanitanya.

Kita boleh merasa sedikit lebih beruntung karena lembaga Indonesian Christian Mission atau Misionaris Kristen Indonesia mengakui, banyaknya bahasa yang digunakan masyarakat Indonesia diakui Misionaris Kristen sebagai hambatan dalam penyebaran Injil (pemurtadan).

Meski demikian radikalnya aksi pemurtadan yang mereka lakukan harus disadari dan diantisipasi benar oleh para Muslimah, hal ini menjadi alarm peringatan bahwa Muslimah harus lebih meningkatkan maupun mengembangkan keahlian dan kemampuan yang ia punya. Tidak hanya sekedar paham Al Qur’an dan bible atau Alkitab tetapi ia harus memahami cara berpikir Kristen, dan jika ia seorang aktivis dakwah maka mempunyai keahlian yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah wajib baginya, termasuk menguasai bahasa daerah setempat.

Namun, jika Muslimah masih belum mampu menjadi pendidik umat, ia harus lah melahirkan generasi penerus yang hafidz/hafidzah atau yang faqih, seperti yang pernah disampaikan oleh salah seorang teman yang merupakan aktivis dakwah,

"Kalau mereka mampu memurtadkan lima orang maka para Muslimah harus melahirkan setidaknya minimal sepuluh generasi Islam yang hafidz atau hafidzah dan faqih”.





[1] Meresahkan, Kristenisasi di Delapan SD Bekasi Mendompleng Mobil Pintar Ani Yudhoyono, http://nahimunkar.com
[3] Bakhtiar et. al., Ranah Minang Di Tengah Cengkeraman Kristenisasi, Bumi Aksara Jakarta dan Muhammadiyah Sumatera Barat, 2005, hlm. 116. Lihat Koran Haluan edisi 31 Juli 2002.
[4] Di kutip dari situs http://www.suara-islam.com/news/berita/nasional/1531-upaya-pemurtadan-di-lereng-merapi-merbabu.

Footnote Peran Muslimah
[1] Solusi ini disampaikan oleh Tarmizi Taher melalui wawancara yang dilakukan oleh si penulis pada tanggal 18 Juli 2006 dan 18 Agustus 2006 di Gedung BPPT, Jakarta. Dikutip dari Asep Syaefullah, Merukunkan Umat Beragama: Studi Pemikiran Tarmizi Taher tentang Kerukunan Umat Beragama, Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta, 2007hlm. 197. Pernyataan yang sama juga bisa dilihat pada buku Departemen Agama, hlm 3.
[2] Pendapat Hakim MK, hlm. 278.
[3] Syed Muhammad Naquib Al Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hlm. 7.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -