Posted by : Sarah Larasati Mantovani Tuesday 12 April 2011

“Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an&Sunnah) dengan Menggunakan akal pikiran yang bebas dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata”.
(Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 7/Munas VII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama).



Masih teringat jelas di benak kita saat MUI mengeluarkan fatwa tentang SEPILIS pada tanggal 22 Jumadil akhir tahun 1426 H (29 Juli 2005 M) yang lalu, spontan saja para aktivis Islam Liberal dan pendukungnya yang mengetahui fatwa MUI tersebut langsung mengecam keras. Bahkan Ulil Abshar-pentolan Islam Liberal sampai menulis di harían Media Indonesia dengan judul “Fatwa MUI dan Konservatisme Agama”, yang menyamakan fatwa MUI dengan Inkuisisi Raja Katolik Ferdinand terhadap penduduk non-Kristen di Spanyol. Oleh karena itu, tak heran sejak fatwa tersebut dikeluarkan, kecaman-kecaman terhadap MUI banyak bermunculan. Ada yang mengatakan MUI keliru, MUI sesat,(1) MUI bukan wakil Tuhan, (2) MUI lancang, (3) bahkan yang terbaru Ahmad Syafi’i Ma’arif menuduh bahwa fatwa sesat dari MUI telah menjadi penyebab ledakan kantor JIL di Utan Kayu pada tanggal 15 Maret yang lalu. (4)

Liberalisme sebenarnya sudah menjadi persoalan lama bagi bangsa Indonesia, tepatnya sejak tokoh pembaharuan Islam yang juga pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam-Nurcholish Madjid menyerukan ide pembaharuan dan modernisasi pemikiran keagamaan pada tahun 1970-an dan sejak Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI yang ke empat, bisa dikatakan sejak saat itulah liberalisme hidup dan tumbuh di Indonesia.


A. Sejarah Singkat Liberalisme

Bisa dikatakan liberalisme berasal dari Barat. Kata 'liberal' sendiri menurut Ensiklopedi Britannica (2001), diambil dari bahasa Latin liber. Kata ini pun, menurut Oxford English Dictionary, bermakna sesuai untuk orang bebas, murah hati dalam seni liberal (liberal arts). Sebagai kata sifat, kata â’˜liberalâ’™ sering dipakai untuk menunjukkan sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka, berpikiran luas lagi terbuka, dan karena itu dianggap hebat. Ini terkait dengan penentangan untuk tunduk kepada kewibawaan apa pun, termasuk Tuhan--kecuali dirinya sendiri. Maka, jika ditelusuri lebih dalam, liberalisme di Barat sejatinya berakar dari semangat perlawanan terhadap Tuhan dan agama.

Di Eropa sendiri, semangat liberalisme sudah muncul sejak masa renaissance (Perancis); berasal dari kata â’œrinascitaâ” (bahasa Italia) yang artinya: kelahiran kembali. Menurut Jacob Buchard, Renaissance, bukan sekedar kelahiran kembali kebudayaan Romawi dan Yunani kuno tetapi juga kebangkitan kesadaran manusia sebagai individu yang rasional, sebagi pribadi yang otonom, yang mempumyai kehendak bebas dan tanggung jawab.

Setelah Renaissance, manusia telah meninggalkan zaman kegelapan abad Pertengahan yang didominasi kekuasaan dan nilai-nilai agama, tetapi telah menjadi manusia yang bebas, rasional, mandiri, dan individual. Inilah yang konon disebut sebagai “prototipe manusia modern”. Manusia modern adalah manusia yang sanggup dan mempunyai keberanian untuk memandang dirinya sebagai pusat alam semesta (antroposentris) dan bukan Tuhan sebagai pusatnya (teosentris). (5)

Menurut penganut paham ini, agama harus tunduk kepada perubahan sejarah. Agama apa pun, Islam tidak terkecuali. Sebab, menurut pandangan liberal, tidak ada yang tetap di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri—satu pandangan yang tentu saja sangat berbeda dengan pandangan Islam, yang telah menegaskan bahwa Islam adalah agama wahyu, agama yang telah sempurna sejak awal dan agama yang tidak tunduk oleh sejarah (QS: 5:3). (6)

Bagi kaum liberal, sebagaimana orang Barat pada umumnya, menjadikan faktor ”mengganggu orang lain” sebagai batas kebebasan. Seseorang beragama apa pun, berkeyakinan apa pun, berperilaku dan berorientasi seksual apa pun, selama tidak mengganggu orang lain, maka perilaku itu harus dibiarkan, dan negara tidak boleh campur tangan. (7)


B. Liberalisme: Sumber Konflik Agama

Sejak ide pembaharuan dan modernisasi pemikiran keagamaan digulirkan, maka sejak saat itulah Liberalisme selalu menjadi musuh utama dan merupakan sumber konflik agama bagi umat Islam di Indonesia hingga kini. Kita lihat saja, bagaimana tokoh-tokoh Islam Indonesia dahulu seperti HM. Rasjidi, Deliar Noer dan Mohd. Daud Ali telah secara keras menolak penyelewengan yang dilakukan oleh Harun Nasution-Rektor IAIN (sekarang UIN) Jakarta era tahun 70-an. Harun dikritik secara keras oleh dosennya sendiri-HM Rasjidi karena telah menyebarkan pemikiran liberalisme dan pluralisme melalui buku yang ditulisnya sendiri Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya dan buku tersebut dijadikan bahan bacaan pokok untuk mata kuliah “Pengantar Ilmu Agama Islam” di seluruh IAIN se-Indonesia, (8) bahkan Endang Saifuddin Anshari sampai harus mengeluarkan kritik terhadap ide Nurcolish Madjid-yang juga menyebarkan ide liberalisme ini melalui bukunya yang berjudul “Kritik atas Faham dan Gerakan ‘Pembaruan’ Drs. Nurcholish Madjid”. Sebelum fatwa MUI dikeluarkan, aktivis Islam Liberal-Ulil Abshar dengan sangat berani juga pernah menulis dalam artikelnya yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” di harian KOMPAS tanggal 18 November 2002:

"Menurut saya, tidak ada yang disebut hukum Tuhan dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya hukum Tuhan tentang pencurian, jual-beli, pernikahan, pemerintahan, dan lain-lain," (9)

Dalam perjalanannya, aktivis JIL selama ini memang seringkali terlibat ketegangan dengan kalangan Islam literal. Mulai dari ketegangan di forum diskusi, ajuan somasi, hingga pengaduan ke polisi. Kasus fatwa mati untuk Ulil yang pernah diberikan oleh Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) seperti menjadi akumulasi dari serangkaian hubungan tegang antardua kubu pemikiran Islam itu.

Puncak dari konflik dengan kaum Liberal adalah pada saat peristiwa Monas (Monumen Nasional), tanggal 1 Juni 2008 lalu. Sebelumnya, kelompok yang menamakan diri sebagai Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) menyebarkan selebaran provokatif untuk mengerahkan pendukungnya ke Monas. Dalam selebarannya tersebut AKKBB menuduh kelompok anti -Ahmadiah adalah anti - UUD dan Pancasila serta persatuan nasional.

Setelah berhasil memprovokasi massa FPI dengan meneriakkan ‘’laskar kapir’’ dan ‘’laskar setan’’. Massa FPI yang pada saat itu tengah berdemo bersama FUI, MMI dan HTI menentang kebijakan pemerintah soal kenaikan harga BBM menjadi kehilangan kesabaran dan akhirnya terjadilah bentrokan tersebut. Hingga menyebabkan beberapa massa AKKBB luka-luka dan sempat dirawat di rumah sakit. (10)

Mengenai liberalisme ini, Hazairin di dalam bukunya yang berjudul “Demokrasi Pancasila”, pernah mengatakan saat menafsirkan pasal 29 ayat (1) UUD 45 tentang Agama:

“Dalam negara RI tidak boleh terjadi/berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Nasrani bagi umat Nasrani, yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Hindu bagi umat Hindu dan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Buddha bagi umat Buddha. Negara RI wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, sekedar menjalankan syari’at tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara…” (11)

Dari pendapat Hazairin tersebut, kita sudah bisa mengambil kesimpulan, siapa yang sebenarnya anti Pancasila, anti UUD dan menjadi sumber utama konflik agama.


Footnote:

(1) Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama&Diabolisme Intelektual, Penerbit Risalah Gusti, Jakarta, 2005, hlm. vi.

(2) Adian Husaini, Demi Kebebasan, Membela Kebatilan!, 13 Juni 2008, http://www.insistnet.com.

(3) Lihat tulisan Akhmad Sahal, Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah, 16 Februari 2011, dari http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2011/02/16/kol,20110216-324,id.html.

(4) Doddy Rosadi, Fatwa MUI Pemicu Ledakan Bom Utan Kayu, 15 Maret 2011, http://www.kbr68h.com/index.php/berita/nasional/index.php?option=com_content&view=article&id=3664:fatwa-mui-pemicu-ledakan-bom-utan-kayu&catid=81:nasional&Itemid=458#comments

(5) Khayrurrijal, Liberalisme: Bebas dari Tuhan, http://www.insistnet.com. tentang Renaissance dan manusia modern, lihat Sutarjo Adisusilo, Sejarah Pemikiran Barat, Yogyakarta, Universitas Sanata Darma, 2007. Lihat juga Karen Armstrong, History of God, 1993.

(6) Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia, hlm. 1.

(7) Ibid, http://www.insistnet.com.

(8) Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya, Gema Insani Press, 2006, hlm. 27.

(9) Laporan utama majalah GATRA No. 05, Senin, 16 Desember 2002.




(10) Amran Nasution, Provokasi, Sekali lagi Provokasi! (1), Senin, 09 Juni 2008, http://www.hidayatullah.com/read/7018/09/06/2008/provokasi,-sekali-lagi-provokasi!-%5B1%5D.html

(11) Hazairin, Demokrasi Pancasila, Bina Aksara, Jakarta, 1981, hlm. 29-31

{ 1 comments... read them below or add one }

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -