Posted by : Sarah Larasati Mantovani Saturday, 22 January 2011

BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Penulisan

Agama adalah sesuatu yang sangat penting bagi umat manusia, karena agama-lah manusia mempunyai arahan yang jelas dan mengetahui hakekat yang sebenarnya untuk apa dia diciptakan, untuk apa dia hidup di dunia ini dan mau kemana dia setelah meninggal nanti.

Agama juga berperan sangat besar untuk membentuk kepribadian seseorang. Jika seseorang tersebut benar-benar mengenali dan memahami agamanya secara baik dan benar, pasti dia tidak akan beranggapan bahwa kebenaran agama yang dianutnya itu sama dengan agama lain, karena dia memahami bahwa masing-masing agama mempunyai klaim kebenaran mutlaknya sendiri (absolute truth claim). Tak hanya itu, seseorang yang benar-benar mengenali dan memahami agamanya secara baik dan benar pasti akan terus berusaha agar dirinya berguna dan setiap pekerjaan yang dilakukannya bisa bernilai ibadah-tak hanya di mata Tuhannya tapi juga di mata sesama manusia dan lingkungannya.
Sebuah agama biasanya melingkupi tiga persoalan pokok, yaitu :

1. Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan supranatural yang diyakini mengatur dan mencipta alam.
2. Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai konsekuensi atau pengakuan dan ketundukkannya.
3. Sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya atau alam semesta yang dikaitkan dengan keyakinannya tersebut .

Selain berperan sebagai pembentuk kepribadian seseorang, agama juga berperan membuat pemeluknya untuk ta’at, tunduk, patuh pada Tuhan yang disembahnya dengan cara sukarela. Sama halnya ketika seseorang telah menyatakan memeluk Islam, maka ia sekaligus menempatkan dirinya dalam batasan Islam berupa ketundukkan pada ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya, Muhammad saw.

Lalu bagaimana dengan keberadaan agama di Indonesia sendiri?. Keberadaan agama di Indonesia sangatlah penting, hal ini terlihat dari Konstitusi tertulis yang dimiliki oleh Negara Indonesia: Pancasila sila Pertama dan pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kedua Konstitusi tersebut, dinyatakan bahwa : “Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978, salah satu wujud pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah, “Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Jika kita mengikuti pendapat Mohammad Hatta, salah seorang penyusun dan perumus Undang-Undang Dasar 1945, Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi sila pertama Pancasila itu adalah : “dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat”. Selanjutnya, kata beliau dalam bukunya Pengertian Pancasila (1978),

“Pengakuan kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa (itu) mengajak manusia melaksanakan harmoni di dalam (alam) yang dilakukan terutama dengan jalan memupuk persahabatan dan persaudaraan antara manusia dan bangsa. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya membela keadilan dengan kelanjutannya menentang segala yang dusta. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya membela keadilan dengan kelanjutannya menentang atau mencegah kezaliman. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya berbuat baik, dengan kelanjutannya memperbaiki kesalahan. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya bersifat jujur dengan kelanjutannya membasmi kecurangan. Pengakuan itu mewajibkan manusia berlaku suci dengan kelanjutannya menentang segala yang kotor baik perkataan maupun keadaan. Pengakuan itu mewajibkan manusia di dalam hidupnya menikmati keindahan dengan kelanjutannya melenyapkan segala yang buruk”.

Semua sifat-sifat itu, kata Bung Hatta, wajib diamalkan karena kita mengakui dan berpegang kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Menerima bimbingan Zat yang sesempurna-sempurnanya, kata Bung Hatta pada kesimpulan akhir uraiannya tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, akan memperkuat pembentukan karakter yang melahirkan manusia yang mempunyai rasa tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, masyarakat, dan Tuhan yang menciptakannya.

Dicantumkannya dasar Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 mengandung makna bahwa para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 dan pembentuk negara kita dahulu meyakini dan mengakui kepercayaan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam penjelasannya dikatakan, bahwa pasal 29 ayat (1) UUD 1945 itu menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Karena pernyataan itu dicantumkan dalam bab Agama, artinya adalah bahwa kepercayaan yang dimaksud adalah kepercayaan agama yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Agus Salim, salah seorang perancang Undang-Undang Dasar 1945 dalam tulisannya Ketuhanan Yang Maha Esa (1953, diterbitkan kembali pada tahun 1977) yang telah disebut di atas, menegaskan hal itu dengan kata-kata, “Saya ingat betul-betul bahwa di masa itu (maksudnya pada tahun 1945:MDA) tidak ada di antara kita seorang pun yang ragu-ragu bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita maksudkan (adalah) “akidah, kepercayaan agama”. Hal ini semakin jelas kalau perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pasal 29 ayat (2)-nya yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” .

Selain itu, Buya Hamka juga ikut memberikan makna Ketuhanan Yang Maha Esa yang ada pada Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas tanggal 25 Agustus 1976, Buya Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut, ia menyatakan :

“Ada yang sebagai orang kecemasan menerangkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang kita cantumkan dalam UUD ’45, pasal 29 itu bukanlah Tuhan sebagai yang diajarkan oleh suatu agama. Ada pula yang menafsirkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu bersumber dari jiwa bangsa Indonesia sendiri, lama sebelum agama Islam datang ke Indonesia, tafsir-tafsir yang berbagai ragam itu kadang-kadang tidak disadari telah menyinggung perasaan orang yang beragama, seakan-akan Tuhan sepanjang ajaran agama itu tidaklah boleh dicampur aduk dengan Tuhan Kenegaraan. Maka, supaya perselisihan ini dapat diredakan, atau sekurang-kurangnya dapat mengembalikan sesuatu kepada proporsinya yang asal, ingat sajalah bahwa dalam preambule UUD ’45 itu telah dituliskan dengan jelas “atas berkat rahmat Allah”. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara preambule dengan materi Undang-Undang” .

Dan pada saat ini, sejak Konghucu sudah diakui menjadi agama sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Secara konstitusi Indonesia mengakui adanya enam agama, yaitu : Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha dan yang terakhir adalah Konghucu.

Kemajemukan dan kepluralitasan yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia inilah yang membuat kita-sebagai rakyatnya, mau tak mau harus bersikap saling toleransi, saling menghormati dan menghargai dengan sesama umat beragama yang berbeda.
Tetapi kesalahpahaman yang timbul terhadap salah satu agama akan melahirkan banyaknya aliran serta berbagai macam sekte yang muncul di Negeri ini beberapa tahun belakangan.
Lalu apa jadinya jika salah satu agama dari enam agama tersebut dinodai ajaran serta akidahnya?. Dalam hal ini yang paling mencolok adalah Islam, agama yang paling banyak dianut oleh Rakyat Indonesia. Banyak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam sendiri akibat dari kesalahpahaman dalam memahami ajaran Islam ataupun karena meyakini dan menafsirkan yang tidak sesuai dengan ajaran dan kepercayaan Islam, kesalahpahaman tersebut pada akhirnya telah banyak melahirkan aliran-aliran dan ajaran-ajaran baru dalam agama Islam-yang dalam hal ini telah dianggap sesat oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia), seperti JIL (Jaringan Islam Liberal), Ahmadiyah, Lia Eden, shalat dengan cara bersiul, shalat dwi bahasa, dll.

Beberapa aliran dan ajaran yang telah disebut sesat oleh MUI ini memperjuangkan kebebasannya melalui Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) serta tiga LSM lain dan empat orang Pemohon, untuk bebas meyakini apa yang telah diyakini aliran-aliran sesat tersebut dengan mengajukan Judicial Review terhadap Undang-Undang No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama kepada Mahkamah Konstitusi (dalam hal ini yang paling mencolok menentang Undang-Undang tersebut adalah mereka yang menginginkan tegaknya Sekulerisme, Pluralisme agama dan Liberalisme di Indonesia).

Yang menarik perhatian penulis adalah pada saat Tim Advokasi Kebebasan Beragama menanyakan tentang “Mana yang akan menjadi acuan nilai kebebasan beragama atau penodaan agama : negara berdasarkan hukum negara atau negara berdasarkan hukum agama?”. Kemudian Mahkamah Konstitusi menjawab “bahwa Indonesia berdasarkan pada hukum negara yang menekankan pentingnya prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan nilai-nilai agama” . Hal ini tentu sangat menggelikan, kenapa? sebab sepertinya Tim Advokasi Kebebasan Beragama tidak benar-benar memahami tafsiran dari Konstitusi dasar Negara kita yang tercantum dalam Pancasila sila Pertama dan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (1) dan filosofi dibalik kedua Konstitusi tersebut yang sudah penulis jelaskan sebelumnya.

Selain itu, hal yang sama juga diperkuat oleh mantan Perdana Menteri RI saat itu (1950-1951), Mohammad Natsir. Pada tahun 1952, dalam forum The Pakistan Institute of World Affairs, Mohammad Natsir memberikan pernyataan mengenai Konstitusi Negara Indonesia :

“…Dan saya katakan Indonesia juga Negara Islam, oleh kenyataan, Islam diakui sebagai agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, Islam itu adalah agama negara. Indonesia tidak memisahkan agama dari kenegaraan. Dengan tegas, Indonesia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dari tiang pertama dari Pancasila, kaidah yang lima, yang dianut sebagai dasar rohani, dasar akhlak dan susila oleh Negara dan Bangsa Indonesia” .

Lalu berbicara mengenai kebebasan beragama, hal ini sudah tercantum dalam pasal 73 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, bahwa implementasi kebebasan HAM (dalam hal ini adalah kebebasan beragama) tidak boleh melanggar HAM orang lain, tidak boleh melanggar hukum, kesusilaan, maupun ketertiban umum. Juga dalam pasal 70 Undang-Undang yang sama lebih jelas lagi bahwa :

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”.

Dan pasal 28 J ayat (2) amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak Asasi Manusia memperkuat Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ini:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Berdasarkan dua Undang-Undang di atas, kita dapat melihat bahwa setiap warga Negara telah dijamin haknya untuk bebas memeluk agama dan beribadah menurut agama yang diyakininya. Akan tetapi hukum juga yang mengatur bahwa dalam melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan itu, tentu harus mengedepankan unsur ketertiban dan kehormatan nilai-nilai kesucian ajaran agama/kepercayaan pihak lain. Untuk maksud tersebut maka kebebasan beragama perlu dirasionalisasi atas dasar keseimbangan antara hak dan kewajiban. Oleh sebab itu, Pemerintah dapat mengatur atau membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya melalui Undang-Undang. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental orang lain. Landasan hukum atau prinsip dasar lain yang mengatur kebebasan beragama juga termaktub dalam pasal 156 KUH Pidana, SKB Mendagri dan Menag No.1 tahun 1969 dan SK Menag No. 70 tahun 1978.

Sebagai seorang muslim, penulis merasa sangat prihatin dengan semakin banyaknya kasus-kasus penodaan agama di negeri ini. Maka atas dasar keprihatinan dan kepedulian itulah, penulis merasa terpanggil untuk mengangkat tema tentang:

“TINJAUAN YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 1 PNPS TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PENODAAN AGAMA TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA”


B. Identifikasi Masalah
Melihat dari latar belakang penulisan di atas, penulis dapat mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Apakah Negara berhak melakukan intervensi atas tafsiran terhadap keyakinan atau kepercayaan seseorang/kelompok untuk berhenti menyebarkan ajaran keagamaan yang telah diyakini dan memberi label sebagai organisasi atau aliran terlarang atas nama ketertiban umum?
2. Apakah langkah yang di ambil oleh Mahkamah Konstitusi sudah tepat dalam menolak seluruh isi permohonan uji materi yang di ajukan oleh para pemohon?


C. Rumusan Masalah
Dari hasil identifikasi masalah, penulis memperoleh rumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana peran Negara dalam melindungi kebebasan beragama dan menjamin kerukunan umat beragama warga negaranya?
2. Bagaimana suatu ajaran dari aliran/organisasi kepercayaan bisa dikategorikan sebagai penodaan agama?


D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui sampai sejauh mana peran Negara dalam melindungi kebebasan beragama dan kerukunan umat beragama warga negaranya.
2. Mengetahui apa arti dan makna dari kebebasan beragama baik menurut Undang-Undang maupun dalam perspektif agama-agama di Indonesia.
3. Mengetahui apa saja penyebab dari penyimpangan yang terjadi pada suatu agama, akibat-akibatnya dan bagaimana solusi terbaik untuk mengatasi penyimpangan-penyimpangan tersebut.

Sedangkan manfaat yang bisa di ambil dari penelitian ini yaitu :
1. Memberikan sumbangan pemikiran untuk studi Hukum Tata Negara, khususnya dalam hukum materiilnya.
2. Menambah pengetahuan dan wawasan kita mengenai kebebasan beragama dan bagaimana membuktikan bahwa suatu ajaran/kepercayaan bisa menodai/melecehkan agama yang ada di Indonesia yang ditinjau dari Perspektif beberapa agama, pendapat para ahli dan Undang-Undang yang ada di Indonesia.
3. Dapat digunakan sebagai bahan masukan dan kritikan bagi mereka yang kontra terhadap isi dari Undang-Undang ini.


E. Kerangka Teori
Menurut Oxford Student Dictionary (1978), Agama yaitu :
“The belief in the existence of supranatural ruling power the creator and controller of the universe”, Agama yaitu suatu kepercayaan akan keberadaan suatu kekuatan supranatural. Yang menciptakan dan mengendalikan alam semesta”.

Menurut Syamsuddin Arif dalam tulisannya yang berjudul “Tiga makna kebebasan dalam Islam”, Makna dari Kebebasan adalah :

“Pertama, identik dengan ‘fitrah’ –yaitu tabiat dan kodrat asal manusia sebelum diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan disekelilingnya. Maka orang yang bebas ialah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya, karena pada dasarnya ruh setiap manusia telah bersaksi bahwa Allah itu Tuhannya. Sebaliknya, orang yang menyalahi fitrah dirinya sebagai abdi Allah sesungguhnya tidak bebas, karena ia hidup dalam penjara nafsu dan belenggu syaitan.

Kedua, kemampuan (istitha‘ah) dan kehendak (masyi’ah) atau keinginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita untuk memilih jalan hidup masing-masing. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 29 “Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) maka hendaklah dia beriman, dan barangsiapa (menghendaki) kafir, biarlah dia kafir”.
Kebebasan disini melambangkan kehendak, kemauan dan keinginan diri sendiri. Bebasnya manusia berarti terpulang kepadanya mau senang di dunia ataukah di akhirat. Dan benarlah firman Allah bahwa tidak ada paksaan dalam agama – ‘la ikraha fiddin’ (2:256). Setiap manusia dijamin kebebasannya untuk menyerah ataupun membangkang kepada Allah, berislam ataupun kafir.

Ketiga, kebebasan dalam Islam berarti ‘memilih yang baik’ (ikhtiyar). Sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Naquib al-Attas, sesuai dengan akar katanya, ikhtiar menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya”.

Kebebasan beragama, menurut Rufini (La liberté religiosa, 1901, terjemahan Inggris 1912) berarti:

“Menciptakan suatu kondisi dalam masyarakat di mana seorang manusia dapat menuntut tujuan-tujuan spiritual yang tertinggi dengan tidak dihalangi orang lain. Dengan begitu maka syarat dapat terciptanya kemerdekaan beragama, di samping adanya pemerintah dan lebih dari satu agama dalam negara, adalah pendidikan moral yang cukup berkembang, sehingga kepribadian individu dalam masyarakat tersebut dapat dianggap mampu untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri.”

Menurut pendapat ahli tentang Kebebasan beragama yaitu :

1. Hasyim Muzadi
a. Bahwa yang benar adalah eksistensi, koeksistensi, multi-eksistensi atau proeksistensi lintas agama, artinya masing-masing pemeluk agama berusaha menghormati agama lain tanpa harus melepaskan keyakinannya.
b. Bahwa dalam beragama kuncinya adalah koeksistensi, artinya masing-masing agama mempunyai eksistensinya sendiri dan beragama dengan sebaik-baiknya tetapi juga harus kooperatif dan multi eksistensi terhadap agama lain.
c. Bahwa terdapat perbedaan dalam perbedaan ekstremisasi, liberalisasi dan moderasi. Ekstremisasi adalah tahu yang diyakini tetapi tidak mau tahu yang diyakini orang lain, Liberalisasi adalah toleransi dengan berani mengorbankan prinsip-prinsip yang sesungguhnya menjadi prinsip agamanya sendiri, sedangkan moderasi adalah koeksistensi, maksudnya beragama dan beriman sebaik-baiknya dengan saling menghormati.

Sedangkan menurut Adian Husaini-mantan Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Pusat yang juga merupakan ahli pihak terkait MUI saat persidangan MK lalu, kebebasan beragama adalah :

“kebebasan memeluk dan menjalankan suatu agama. dalam sejarah Islam sudah terjadi praktik kebebasan beragama seperti diatur dalam Piagam Madinah dan Piagam Aelia di Jerusalem. kaum non-muslim diberi kebebasan menjalankan agama mereka dengan batasan-batasan tertentu. Kebebasan beragama bukan kebebasan untuk merusak agama atau menodai agama. sebab dalam Islam, siapa yang merusak Islam atau menyelewengkan ajaran Islam, seperti menghina Nabi Muhammad saw, merupakan tindak kriminal”.


F. Metodologi Penelitian
1. Metode pendekatan masalah
Dalam hal ini, penulis menggunakan metode pendekatan secara objektif, komparatif dan yuridis normatif yaitu memperbandingkan suatu masalah dengan tidak menggunakan satu sudut pandang saja (bukan hanya berdasarkan sudut pandang Undang-Undang) tetapi juga pandangan beberapa agama dan melalui pendapat para ahli.
2. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan yaitu deskriptif analisis, yaitu menggambarkan segala sesuatu yang ada di dalam Undang-Undang dan menganalisa putusan yang akan di bahas.
3. Data yang digunakan
Bahan hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti: Norma, Peraturan Dasar, Peraturan Perundang-undangan, dan lain-lain. Bahan hukum Sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian, hasil karya ilmiah, dan lain-lain.
Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang member petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti ensiklopedi, kamus, dan lain-lain .
Penulis juga mengambil data dari lapangan seperti majalah dan wawancara dengan narasumber yang ahli dalam masalah ini.
4. Metode pengolahan dan analisa
Yaitu dengan menggunakan metode editing dengan mengumpulkan data-data dan bahan-bahan yang kemudian dipilih dan berkaitan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Penodaan Agama dan Undang-Undang atau peraturan yang mengatur tentang Kebebasan Beragama. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisa dengan melakukan penelitian berdasarkan Undang-Undang, pendapat para ahli maupun pandangan beberapa agama.


G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuraikan hal-hal utama yang menjadi penulisan skripsi, yang terdiri dari lima pokok pembahasan, yaitu: Latar belakang Penulisan, Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM KEBEBASAN BERAGAMA
Pada bab ini akan di uraikan tentang Pengertian Agama dan Kebebasan Beragama, Sejarah singkat mengenai Kebebasan Beragama, Korelasi Kebebasan Beragama dengan Undang-Undang yang ada di Indonesia, Korelasi Kebebasan Beragama dengan Pluralisme Agama, Korelasi Kebebasan Beragama dengan Liberalisme.

BAB III PEMBAHASAN UNDANG-UNDANG NO. 1 PNPS TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN PENODAAN AGAMA
Pada bab ini akan diuraikan Pengertian Penodaan Agama secara umum, Pengertian Penodaan Agama menurut Undang-Undang No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Penodaan Agama, Latar belakang Undang-Undang No. 1/PNPS/1965, Faktor-Faktor yang Menyebabkan Penodaan Agama, Pembuktian Penodaan Agama, Korelasi Kebebasan Beragama dengan Penodaan Agama.

BAB IV ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 140/PUU-VII/2009
Pada bab ini akan diuraikan Duduk Perkara, Analisis Yuridis penulis mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi, Kelemahan argumentasi pemohon, Indonesia Bukan Negara Theokrasi dan Bukan Negara Sekuler, Tiada Kebebasan yang Tanpa Batas.

BAB V PENUTUP
Pada bab ini akan di uraikan bagian akhir dari seluruh kegiatan penulisan, yang berisi Kesimpulan dan Saran.



DAFTAR PUSTAKA*

Al-Qur’anul Karim, Mushaf Al-Qur’an terjemah, Gema Insani Press, Jakarta, 2002.

Adian Husaini, ”Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam: Kesalahpahaman dan Penyalahpahaman terhadap Pancasila 1945-2009”, Gema Insani Press, Jakarta, 2009.

_____________, “Pluralisme Agama: Musuh Agama-agama (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu dan Islam terhadap Pluralisme Agama)”, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Jakarta, 2010.

____________, “Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam”, Gema Insani Press, Jakarta, 2004.

Anis Malik Thoha, “Tinjauan Kritis: Tren Pluralisme Beragama”, Perspektif: Kelompok Gema Insani, Jakarta, 2005.

Anshari Endang Saifuddin, “Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949)”, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.

Azyumardi Azra, et. al., “Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum”, Departemen Agama RI, Jakarta, 2002.

Bambang Sunggono, “Metode Penelitian Hukum”, Rajawali Press, Jakarta, 1997.

Mohammad Daud Ali, “Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia”, Rajawali Press, Jakarta, 1993.

Zarkasy Hamid Fahmy, et. al., “Islam versus Liberalisme: Menjawab gugatan terhadap UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Penodaan Agama”, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Jakarta, 2010.


Peraturan Perundang-undangan
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28J ayat (2) tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 29 ayat (1) dan (2) tentang Agama.

Undang-Undang No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Penodaan Agama.


Makalah/Artikel/Majalah
Adian Husaini, “Liberalisasi Islam di Indonesia”, tanpa tahun.

____________, “Piagam Madinah dan Toleransi Beragama”, 2010.

Hamid Fahmy Zarkasyi, “Hak dan Kebebasan Beragama (dalam Perspektif Islam, DUHAM dan keIndonesiaan)”, 2008.


Internet
________, “DUHAM di mata Buya Hamka”, artikel di akses tanggal 18 Agustus 2010, dari http://www.insistnet.com.

________, “Mahkamah Konstitusi menolak Uji Materi Undang-Undang Penodaan Agama”, artikel di akses tanggal 13 Juli 2010, dari http:// www.eramuslim.com.

Herry Nurdi, “Kebebasan Beragama”, dikutip dari www.insistnet.com. Lihat juga K. H. M. Rasjidi, “Kebebasan Beragama”, Fajar Shadiq, 1979.

Peter Suwarno, “Telaah atas Undang-Undang Penodaan Agama”, artikel di akses pada tanggal 13 Juli 2010, dari http:// www.islamprogresif.grouply.com.



*Daftar Pustaka sementara

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -