- Back to Home »
- Tumbilotohe: Tradisi Malam Laylatul Qadr ala Gorontalo*
Posted by : Sarah Larasati Mantovani
Thursday, 17 October 2013
Tumbilotohe 2011 |
Saat bulan puasa tiba, masyarakat Gorontalo pada jaman dahulu biasa menjalankan tradisi pasang lampu atau bahasa Gorontalo-nya Tumbilotohe. Tradisi ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke 15 M dan latar belakang mengenai tumbilotohe sendiri terbagi ke dalam dua versi, versi pertama mengatakan berawal dari keadaan Kota Gorontalo yang pada waktu itu gelap gulita karena belum dimasuki listrik, sehingga masyarakat Gorontalo yang ingin melaksanakan shalat Tarawih ke Mesjid dan menyerahkan zakat fitrah pada malam hari harus memerlukan penerangan atau lampu. (Unknown, Tradisi Tumbilotohe, 15 September 2009, http://hulondhalo.com/tradisi-tumbilotohe/ ).
Sedangkan versi kedua mengatakan, bahwa tradisi tumbilotohe diadakan untuk menyambut datangnya malam laylatul qadr. Menurut cerita yang saya dapatkan dari Juliana Alicia Hadju-warga asal Moodu, Gorontalo kota Timur, (Jum’at, 26/08), tumbilotohe mengandung makna yang mengisyaratkan bahwa lampu yang dipasang sebagai harapan untuk mendapatkan berkah pada malam laylatul qadr atau pada 10 malam terakhir bulan ramadhan dan masyarakat Gorontalo percaya dengan tradisi tersebut.
Senada dengan apa yang dikatakan oleh Rusli Arkanie-salah satu Imam Masjid Heledulaa-Limba U1, saat saya tanyai (Jum’at, 26/08), bahwa tumbilotohe memang diadakan untuk menyambut malam laylatul qadr, jadi suasananya harus bercahaya. Lampu yang digunakan untuk dibawa ke mesjid pun pada waktu itu masih sangat tradisional, yaitu berasal dari damar, getah pohon yang mampu menyala dalam waktu lama kemudian dibungkus dengan janur dan diletakkan di atas kayu.
Rumu Tilolango-warga asal Tanggidaa, Gorontalo kota Selatan, pada saat saya tanyai (Rabu, 24/08) mengatakan seiring dengan perkembangan jaman, lampu yang ada diganti dengan lampu minyak kelapa (disebut dengan padamala) yang bahan bakarnya terdiri dari air yang diberi pewarna, minyak kelapa dan sumbunya dari kapas (sekarang sumbu kompor), biasanya ditempatkan dalam wadah kecil seukuran cangkir.
Pada jaman dahulu, lampu yang ada sesuai dengan jumlah anggota keluarga, jadi setiap anggota keluarga punya lampunya masing-masing. Pada saat ini, lampu yang digunakan umumnya terbuat dari botol atau kaleng bekas yang bagian tutupnya di pasangi sumbu kompor. Dan biasanya, lampu-lampu tersebut di pasang di depan rumah, di jalan-jalan, di lahan-lahan kosong nan luas, di alikusu atau kerangka pintu gerbang khas Gorontalo dan di perahu (atau yang biasa di sebut dengan Tumbilotohe Tobulotu atau pasang lampu di perahu).
Agar terlihat lebih unik dan kreatif, lampu-lampu yang di pasang oleh masyarakat Gorontalo biasanya di bentuk gambar masjid, rumah, tulisan-tulisan seperti ucapan selamat idul fitri, dan lain-lain. Menurut kebiasaan masyarakat, sebelum menyalakan lampu, masing-masing masyarakat Gorontalo biasanya membaca surat al-Qadr. Dimana hal ini saya dapatkan saat melihat salah satu warga Heledulaa-Limba U1 yang akan menyalakan lampu, saya tanyai tentang hal tersebut.
Sementara itu, Rusli Arkanie menambahkan bahwa tradisi dari NU Gorontalo biasanya menyebutkan nama 4 khulafaurrasyidin secara urut terlebih dahulu baru membaca surat al-Qadr, gunanya untuk menghargai jasa-jasa mereka. Dari jaman dahulu sampai sekarang, tradisi ini biasa dilaksanakan setiap tiga hari atau empat hari sebelum hari raya Idul Fitri atau disesuaikan dengan kemampuan finansial dari masyarakat Gorontalo sendiri, tepatnya pada malam ke-27 sampai malam ke-29 ramadhan.
Sebagaimana hal ini pernah diungkapkan oleh Kasman Abbas-Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat kelurahan Limba U1 saat saya wawancarai (Jum’at, 26/08). Kasman juga mengungkapkan bahwa manfaat dari tradisi tumbilotohe ini karena ingin melestarikan budaya Gorontalo, meningkatkan pariwisata malam, dan manfaat dari sisi religiusnya karena menyambut malam laylatul qadr.
Pada malam tumbilotohe, biasanya juga akan selalu ada orang-orang Gorontalo yang akan meminta zakati (uang) dari rumah ke rumah penduduk. Hal ini mungkin dikarenakan, orang-orang Gorontalo percaya bahwa mereka akan mendapatkan berkah pada malam laylatul qadr. Meski Gorontalo baru berusia 10 tahun menjadi sebuah provinsi, tetapi tradisi Tumbilotohe ini sudah berusia lebih dari ratusan tahun dan selalu dijalankan oleh masyarakat Gorontalo.
Sebagaimana hal ini pernah diungkapkan oleh Najib Sulaiman-Kepala Seksi Seni Tradisi dan Pertunjukkan Dinas Pariwisata Provinsi Gorontalo saat penulis tanyai (Jum’at, 18/08), bahwa tradisi ini memang sudah ada sejak lama. Seiring dengan berjalannya waktu, oleh pemerintah setempat, tradisi ini berubah menjadi festival budaya dan menjadi salah satu daya tarik dari kota Gorontalo sejak 10 tahun terakhir.
Selain dengan lampu botol, masyarakat Gorontalo dalam tradisi tumbilotohe biasa menggunakan Moronggo (obor) yang terbuat dari bambu kuning berdiameter kecil, sedang atau besar yang di isi dengan minyak tanah dan sumbu yang terbuat dari kain atau sabut kelapa kering.
Ada juga tonggolo’opo atau lampion bambu yang terbuat dari bambu besar yang ujungnya di belah sesuai dengan besarnya bambu dan di dalamnya di letakkan batok kelapa sehingga membentuk jari-jari yang nantinya akan di isi dengan kertas warna warni dan di dalamnya di pasang lampu botol.
Selain itu, ada juga alikusu atau kerangka pintu gerbang yang terbuat dari bambu kuning, pohon pisang, dan daun kelapa muda yang dibuat janur, dan bunggo atau mainan meriam bambu yang juga selalu digunakan oleh anak-anak muda Gorontalo saat tradisi tumbilotohe ini masih berlangsung.
Saat saya menyusuri jalan-jalan di kota Gorontalo Jum’at malam 26/08, kepadatan dan kemacetan sangat terasa sekali, orang-orang di Gorontalo rela bermacet-macet ria hanya untuk menyaksikan tradisi tumbilotohe yang hanya di adakan sekali dalam setahun. Yang menarik adalah, saat menyaksikan kreatifitas dari teman-teman mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo yang mengadakan tradisi tumbilotohe dengan gaya mereka sendiri, yaitu dengan memasang lampion merah besar bergambar tengkorak dan memasang banyak lampu minyak tanah di sebuah lahan kosong di depan SMP Negeri 3 Gorontalo.
Ramdan-Sekretaris Umum dari acara tersebut mengatakan bahwa tradisi tumbilotohe ala Mahasiswa Teknik UNG ini sudah mereka jalankan sejak tahun 2008 yang lalu. Selain itu, kampanye dalam tradisi tumbilotohe juga sangat terasa, dimana hal ini saya dapatkan saat melihat poster besar berisikan foto salah satu pasangan Cagub dan Cawagub di sebuah lahan kosong di area Tanggidaa dengan ucapan selamat idul fitri beserta hiasan lampu, padahal PILKADA masih sekitar 3 bulan lagi.
Pada tahun 2007, tradisi tumbilotohe ini juga pernah masuk dalam rekor MURI sebagai rekor penyalaan lampu minyak terbanyak, karena lebih dari 5 juta lampu botol dinyalakan di Gorontalo. (Jum'at 18 September 2009, http://www.antaranews.com/berita/1253211461/tradisi-tumbilotohe-bukan-pemborosan-bbm), hingga sekarang tradisi tumbilotohe sudah dijadikan sebagai ajang lomba oleh pemerintah kota. Setiap tahunnya pemerintah selalu menilai desa mana saja yang paling kreatif dan paling meriah dalam tumbilotohe-nya.
Saya berharap dari tradisi ini masyarakat Gorontalo secara sungguh-sungguh mau mengambil hikmah yang terkandung dalam tumbilotohe, bahwa dalam menjalani kehidupan ini kita memang perlu penerang (petunjuk) dari Sang Pemilik Cahaya sebagaimana masyarakat Gorontalo percaya bahwa pada saat menyalakan lampu, mereka mendapatkan berkah pada malam laylatul qadr dan tradisi ini diadakan tak hanya sekedar untuk senang-senang tapi juga sebagai muhasabah untuk masyarakat Gorontalo di 3 malam terakhir bulan Ramadhan ini. Wallahu’alam.
Gorontalo, 27 Agustus 2011.
*Pernah dimuat di situs Hidayatullah.com: http://hidayatullah.com/read/18656/29/08/2011/tumbilotohe:-tradisi-malam-lailatul-qadr-ala-gorontalo.html
(gambar dari situs hulondhalo.com)
Terima Kasih Artikelnya
ReplyDelete