Posted by : Sarah Larasati Mantovani Saturday 27 September 2014

Rendang dalam Proses pembuatan.
Foto Koleksi Pribadi
Setiap daerah di Indonesia pasti memiliki makanan khasnya sendiri yang tentunya berbeda dari daerah lainnya dan makanan merupakan salah satu promosi budaya paling mudah selain melalui seni dan budaya.

Melalui namanya, kita bisa menelusuri darimana makanan itu berasal, seperti Gudeg dari Yogya atau Kapurung dari Sulawesi Selatan. Meski demikian, nama makanan juga tidak menjamin bahwa ia berasal dari daerah tersebut, misalnya seperti kuah bugis yang ternyata merupakan makanan khas Gorontalo dan memang biasa dibuat oleh orang Gorontalo, bukan berasal dari Bugis, walau ada nama “Bugis”-nya.

Kemudian melalui makanan pula, kita bisa mengetahui filosofi yang terkandung dalam makanan tersebut, karena setiap makanan pasti memiliki filosofi tersendiri untuk kita gali kembali sebagai khazanah budaya Indonesia yang perlu dijaga dan diwariskan pada generasi selanjutnya. Tidak terkecuali rendang, yang merupakan salah satu makanan khas Sumatera Barat.

Kelezatan dan kenikmatan rendang tidak perlu diragukan lagi, hal ini karena percampuran bumbu-bumbu rempah seperti jahe, lengkuas, sereh, kunyit dan bumbu lainnya dengan santan kelapa, sehingga menjadikan rendang begitu spicy. Bahkan, rendang pernah dinobatkan sebagai makanan yang paling terlezat di dunia.

Rendang Conversation
Seperti yang dilansir cnngo.com, sebuah rubrik travel CNN, memilih rendang pada peringkat pertama sebagai hidangan yang paling terlezat di dunia dalam daftar World’s 50 Most Delicious Food (50 hidangan terlezat di dunia) yang diselenggarakan oleh CNN.

Rendang dan Filosofinya

Meski daerah-daerah di Sumatra Barat memiliki rendang yang berbeda-beda, seperti misalnya ada rendang yang memakai ketumbar, ada pula yang tidak, ada yang memakai kunyit, ada pula yang tidak. Namun masyarakat Minang tetap sepakat atas filosofi rendang yang mencerminkan struktur dalam masyarakat Minang itu sendiri.

Zamzami Shaleh, mantan Ketua PII Mesir asal Padang, menerangkan, Filosofi rendang berasal dari empat bahan pokok yang melambangkan keutuhan masyarakat Minang, yaitu, pertama dagiang atau daging sapi, yang merupakan lambang dari niniak mamak (para pemimpin suku adat). Kedua, karambia atau kelapa yang merupakan lambang cadiak pandai (kaum intelektual). Ketiga, lado atau cabai yang merupakan lambang alim ulama yang pedas dan tegas untuk mengajarkan syariat agama, dan terakhir pemasak atau bumbu yang merupakan lambang dari keseluruhan masyarakat Minangkabau.

Bumbu rendang harus di ulek terlebih dulu
Tidak hanya itu, dari proses memasaknya yang memakan waktu hingga berjam-jam dan harus melalui tiga proses, yaitu gulai – kalio – rendang, rendang dapat mengajarkan kesabaran, ketelatenan dan ketelitian. Hal ini juga menggambarkan dan memperlihatkan bagaimana sabar, telaten dan telitinya para bundo kanduang atau gadis Minang di Sumatra Barat dalam memasak rendang, yang biasanya dimasak dalam porsi besar.

Rendang, ungkap Ketua Keluarga Besar Mahasiswa Minangkabau asal Payakumbuh, Efri Yunaidi, merupakan cara penyimpanan. Efri menerangkan, rendang itu awet, hal ini dikarenakan pada zaman dulu tidak ada kulkas, sehingga makanan dibuat dengan cara rendang agar lauk dapat lebih tahan lama. Maka tidak heran, jika rendang bisa tahan hingga tiga atau empat minggu.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Journalicious - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -